Jakarta – Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) 2025 yang diselenggarakan sejak Rabu (23/4/2025) tak hanya menyuguhkan tantangan intelektual, tetapi juga ujian moral.
Dalam dua hari pelaksanaan awal, panitia menemukan 14 kasus kecurangan yang dilakukan peserta, dengan modus yang semakin rumit dan sulit dideteksi.
Ketua Umum Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB), Prof. Eduart Wolok, menyatakan bahwa kecurangan tersebut terungkap pada sesi pertama dan kedua pelaksanaan UTBK SNBT.
Pada Rabu (23/4/2025) ditemukan 9 kasus, dan Kamis (24/4/2025) sebanyak 5 kasus. Meski jumlahnya hanya 0,0071 persen dari 196.328 peserta, Eduart menegaskan bahwa pelanggaran sekecil apapun tetap ditindak tegas.
“Memang kecil secara persentase, tapi kami tidak akan mentolerir bentuk kecurangan apa pun,” ujar Eduart dalam konferensi pers virtual, Jumat (25/4/2025).
Modus yang digunakan mencakup penggunaan perangkat lunak dan keras canggih untuk merekam soal, serta akses jarak jauh oleh pihak ketiga.
Bahkan, peserta menyembunyikan kamera di behel gigi, kuku, kancing baju, hingga sepatu untuk menghindari deteksi metal detector.
“Alat yang mereka gunakan sangat variatif. Ada yang menggunakan HP tersembunyi di tubuh dan benda kecil yang tidak terdeteksi oleh metal detector,” tambahnya.
Eduart juga memastikan bahwa tidak ada kebocoran soal karena setiap sesi ujian, termasuk antara pagi dan siang, memiliki paket soal yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk menjaga integritas seleksi dan memastikan tidak ada manfaat dari pencurian soal.
“Soal sudah kami set berbeda untuk setiap sesi. Jadi jika ada yang berhasil mengambil soal pun, itu tidak akan berguna untuk sesi selanjutnya,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa beberapa pusat pelaksanaan UTBK masih minim alat pendeteksi logam, dan hal ini akan menjadi evaluasi penting untuk meningkatkan pengawasan di tahun mendatang.
“Kami akan jadikan ini sebagai catatan penting, agar pengawasan bisa lebih maksimal,” pungkas Eduart.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pengawasan terhadap UTBK harus terus ditingkatkan, mengingat para peserta tak hanya bersaing secara akademik, tetapi juga mulai memanfaatkan teknologi secara tidak etis.
