Kontroversi yang memanas terkait ucapan Gus Miftah membuka babak baru dalam perdebatan tentang etika dan tanggung jawab pejabat publik. Miftah Maulana Habiburrahman, yang akrab disapa Gus Miftah, memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Langkah ini muncul setelah gelombang protes publik atas ucapan kontroversialnya di acara Magelang Bersholawat.
Insiden tersebut berawal dari candaan yang dilontarkan kepada seorang pedagang es teh di depan umum, menggunakan kata kasar yang kemudian viral di media sosial. Ucapan itu tidak hanya melukai pihak terkait, tetapi juga menimbulkan kekecewaan luas. Dengan cepat, video tersebut menyebar, memancing kemarahan masyarakat yang melihat kejadian ini sebagai bentuk pelecehan verbal dari seorang pemuka agama sekaligus pejabat publik.
Petisi daring menuntut pencopotannya dari jabatan berhasil mengumpulkan lebih dari 50.000 tanda tangan dalam waktu singkat. Bahkan Presiden Prabowo Subianto, melalui perwakilannya, menyatakan penyesalan atas insiden tersebut dan meminta pelaku untuk segera meminta maaf secara terbuka.
Namun, permintaan maaf saja tampaknya belum cukup untuk meredakan amarah publik. Tekanan dari berbagai pihak, termasuk tokoh agama dan organisasi keagamaan, memperjelas bahwa tindakan tersebut telah mencoreng citra institusi yang diwakilinya. Keputusan mengundurkan diri memang terlihat sebagai langkah bertanggung jawab. Namun, di sisi lain, kejadian ini menggarisbawahi persoalan yang lebih besar: kurangnya kesadaran pejabat publik terhadap pentingnya menjaga tutur kata, terutama dalam ruang lingkup yang melibatkan masyarakat luas.
Belajar dari sejumlah tokoh lain, seperti Fahri Hamzah, Rafli Harun, dan Mahfud MD, pentingnya memahami peran dalam jabatan menjadi sangat relevan. Fahri Hamzah, saat masih di parlemen, dikenal vokal karena tugasnya sebagai pengawas kebijakan. Namun, ia memahami perbedaan itu saat berada di lingkaran eksekutif, di mana ia menjaga komunikasi yang lebih strategis untuk melayani kepentingan publik. Rafli Harun, di sisi lain, adalah contoh pejabat yang konsisten menjaga etikanya, baik dalam forum publik maupun tertutup, sehingga ia tetap dihormati oleh berbagai kalangan.
Sementara itu, Mahfud MD telah lama menjadi figur yang mampu menjaga keseimbangan antara kritis dan santun. Sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, ia menunjukkan bahwa ketegasan dapat berjalan seiring dengan keadilan dan rasa hormat terhadap semua pihak. Dalam berbagai pernyataannya, Mahfud tidak hanya mengedepankan fakta, tetapi juga mempertimbangkan dampak ucapannya terhadap stabilitas sosial.
Tokoh-tokoh tersebut memberi pelajaran penting bahwa pemahaman tentang peran dan tanggung jawab pejabat publik adalah kunci untuk menjaga integritas dalam jabatan. Tidak cukup hanya memiliki kecakapan teknis atau popularitas, tetapi juga diperlukan kesadaran penuh akan dampak setiap tindakan dan ucapan terhadap masyarakat luas.
Untuk mencegah kasus serupa terulang, pemerintah perlu mengedepankan program pelatihan etika bagi pejabat publik. Selain itu, Indonesia harus segera menetapkan standar kelayakan bagi pejabat publik yang meliputi kriteria moral, kemampuan komunikasi, dan pemahaman mendalam tentang fungsi jabatan. Mekanisme evaluasi yang lebih ketat dapat memastikan hanya individu dengan rekam jejak dan integritas tinggi yang menduduki posisi strategis.
Di sisi lain, tokoh agama dan masyarakat juga perlu dilibatkan dalam dialog untuk memperkuat budaya santun dan menghormati sesama. Pendekatan yang melibatkan komunitas ini dapat menjadi langkah konkret dalam membangun kembali kepercayaan yang telah tercoreng.
Insiden ini menjadi pelajaran penting bahwa ucapan, meski sering dianggap remeh, dapat membawa konsekuensi besar. Kehilangan kepercayaan masyarakat adalah risiko nyata bagi seorang pejabat publik yang gagal menjaga etika. Langkah pengunduran diri patut diapresiasi, namun ini hanya awal dari proses pemulihan citra yang lebih luas.
Ke depan, pejabat publik perlu lebih sadar akan tanggung jawab besar yang melekat pada jabatan mereka. Indonesia membutuhkan pejabat yang tidak hanya kompeten, tetapi juga mampu menjadi panutan moral bagi masyarakat. Menetapkan standar kelayakan pejabat publik harus menjadi prioritas untuk memastikan integritas pemerintahan di masa depan