Tanggerang – Guncangan bumi bermagnitudo 6,3 yang memporak-porandakan 197 rumah di Bengkulu pada Jumat (23/5/2025) dini hari menjadi peringatan keras akan pentingnya kesiapsiagaan.
Dalam konferensi bertajuk Edukasi dan Teknologi Penanggulangan Bencana di Hotel Santika, Kamis (23/5/2025), pakar kebencanaan Muhamad Hidayat menegaskan pentingnya integrasi antara kecanggihan teknologi Artificial Intelligence (AI) dan kearifan lokal dalam sistem mitigasi bencana Indonesia.
Hidayat, selaku Kepala Pusat Studi Krisis dan Ketahanan LSPR, menyoroti bahwa AI telah mulai diadopsi oleh BMKG untuk prediksi cuaca dan gempa. Namun, penerapannya belum optimal untuk tanggap darurat secara holistik.
“AI bukan hanya prediksi, tapi juga alat evakuasi, logistik, dan respon cepat,” ujarnya menekankan.
Ia menambahkan pentingnya Pusat Data Nasional AI yang mampu mengalirkan informasi hingga ke pelosok desa. Menurutnya, desa tangguh bencana tak boleh sekadar menjadi slogan.
“Teknologinya harus nyampe. Investasi awal mitigasi cuma $5 per orang, jauh lebih murah dari kerugian pasca bencana,” kutipnya merujuk pada data World Bank.
Konferensi itu juga menekankan kekuatan kearifan lokal sebagai pelengkap teknologi. Rumah Gadang di Sumatera Barat dan rumah panggung di Jawa Barat, menurut Hidayat, adalah contoh desain arsitektur adaptif terhadap bencana. Ia juga menyinggung kebiasaan masyarakat tradisional yang memperhatikan perilaku hewan sebagai sinyal alamiah bahaya.
Model sinergi lima unsur – pemerintah, akademisi, masyarakat, media, dan bisnis – atau dikenal sebagai model pentahelix, turut dipaparkan Hidayat.
“Edukasi bencana gak bisa dikerjakan sendiri-sendiri. Harus barengan, harus masif,” tegasnya.
Program SPAB (Sekolah Aman Bencana) dan PAB (Pendidikan Aman Bencana) disebutnya sangat vital. Sekolah menurutnya bukan hanya tempat belajar, tapi juga pusat evakuasi komunitas.
“Sekolah itu pusat gempa, bukan cuma kurikulum. Humas dan PR sekolah harus aktif kampanye kesiapsiagaan,” katanya.
Hidayat juga menyarankan edukasi berbasis rumah tangga seperti penerapan sumur resapan dan biopori. Ia menegaskan bahwa banjir bisa dicegah, bukan dianggap takdir. Namun, ia mengkritik lemahnya komunikasi publik soal gempa besar yang berpotensi melanda.
“Banyak informasi penting ketahan di elite, padahal warga yang harusnya siap. Ini soal kepercayaan,” pungkasnya, sambil menyarankan peran influencer sebagai agen penyebar informasi mitigasi.
Peristiwa gempa di Bengkulu menambah urgensi dari pesan-pesan tersebut. Dengan 197 rumah rusak, termasuk delapan unit rusak berat, kesiapsiagaan tak bisa ditunda. Sinergi antara teknologi canggih dan kearifan lokal kini bukan pilihan, melainkan kebutuhan.
