Warisan gemilang peradaban Islam pernah menerangi dunia. Pada masa ketika sebagian wilayah Eropa terjebak dalam kegelapan intelektual, dunia Islam justru berdiri sebagai pusat sains, filsafat, dan teknologi. Para ilmuwan muslim bekerja tanpa lelah untuk membaca, menerjemahkan, meneliti, dan mencipta. Tidak ada ruang untuk kemalasan intelektual, karena bagi mereka, belajar adalah ibadah dan ilmu adalah cahaya yang mengangkat derajat manusia.
Ketika Islam Memimpin Pengetahuan Dunia
Pada abad ke-8 hingga ke-14, dunia Islam mencapai puncak kejayaan melalui aktivitas riset yang berkembang pesat. Salah satu pusatnya adalah Bayt Al-Hikmah di Baghdad. Di lembaga ini, para ilmuwan dari berbagai bangsa berkumpul untuk menerjemahkan karya-karya besar dari Yunani, Persia, dan India. Mereka tidak sekadar menyalin, tetapi memperdalam, mengkritisi, dan memperluas gagasannya.
Tokoh seperti Al Khawarizmi mengembangkan al-jabr, yang kemudian menjadi aljabar modern. Konsep algoritma yang ia rumuskan menjadi dasar dari perangkat digital saat ini mulai dari internet, mesin pencari, hingga kecerdasan buatan. Sementara Al Biruni meneliti matematika dan astronomi dengan ketelitian luar biasa, bahkan menghitung radius bumi dengan tingkat kesalahan sangat kecil.
Bidang astronomi juga berkembang pesat melalui ilmuwan seperti Al Fazani, pencipta astrolab yang memudahkan navigasi dan pengamatan langit. Ia merumuskan cara mengukur jarak bumi ke matahari, suatu capaian besar pada masa tanpa teleskop modern.
Dalam dunia medis, Ibnu Sina menulis Al-Qanun fi al-Tibb, yang menjadi buku panduan kedokteran di Eropa selama lima abad. Ia merumuskan sistem peredaran darah, prinsip anatomi, hingga metode diagnosa yang mendahului zamannya. Dedikasinya menunjukkan bahwa Islam selalu memuliakan ilmu, termasuk ilmu duniawi.
Tiga Kota Emas Peradaban Islam
Pada masa itu, ada tiga pusat ilmu yang memancarkan cahaya ke seluruh dunia Islam:
- Baghdad, dengan Bayt Al-Hikmah sebagai jantung intelektualnya.
- Cordoba, yang memiliki salah satu perpustakaan terbesar di Eropa, bahkan lebih besar dari perpustakaan gereja pada zamannya.
- Timbuktu, terutama Universitas Sankore, yang menjadi pusat pembelajaran Afrika dan menarik cendekiawan dari berbagai negeri.
Di ketiga kota ini, diskusi ilmiah adalah tradisi. Mereka membangun peradaban dengan membaca, berdialog, dan melakukan penelitian.
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.”
Hadis ini menjadi motivasi para ilmuwan masa keemasan, mendorong mereka untuk terus mempelajari alam semesta sebagai wujud syukur dan ibadah.
Islam Masa Kini: Kemunduran yang Bisa Diperbaiki
Jika kita menengok ke masa kini, perbandingannya kontras. Banyak umat Islam masih memandang ilmu duniawi sebagai sesuatu yang tidak penting. Ada yang berkata, “Untuk apa belajar teknologi? Itu tidak dibawa mati.” Pandangan seperti ini menghambat kemajuan umat. Padahal, Islam tidak pernah memisahkan antara dunia dan akhirat. Keduanya saling menguatkan.
Sebagian masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu dengan hiburan, media sosial, atau tontonan yang kurang bermanfaat, daripada membaca atau belajar. Ironisnya, teknologi yang mereka gunakan berasal dari prinsip algoritma yang dirumuskan ilmuwan muslim sendiri.
“Iqra,” bacalah perintah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW.
Perintah itu diberikan bukan hanya untuk membaca teks, tetapi membaca dunia, membaca diri, dan membaca tanda-tanda kebesaran Allah. Namun minat membaca semakin menurun. Budaya ilmiah yang dulu menjadi kebanggaan umat Islam kini memudar.
Sementara itu, peradaban Barat terus maju dalam sains, teknologi, dan inovasi. Mereka membaca, meneliti, dan bekerja keras sesuatu yang dahulu dilakukan oleh umat Islam dengan penuh semangat. Pertanyaannya mengapa umat Islam tidak lagi menempuh jalan yang sama?
Menemukan Kembali Identitas Ilmu
Bangkitnya kembali peradaban Islam bukanlah sesuatu yang mustahil. Semua bisa dimulai dari hal kecil: membangun kembali kecintaan pada ilmu. Peradaban besar tidak dibangun dalam sehari, tetapi dimulai dari satu langkah satu halaman buku, satu percobaan, satu gagasan baru.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” QS. Al-Mujadilah: 11
Ayat ini adalah penegasan bahwa ilmu membawa kemuliaan. Umat Islam harus menyadari bahwa belajar bukan pilihan, melainkan kewajiban. Kita tidak perlu langsung menjadi ilmuwan besar; cukup menjadi pembelajar yang berkomitmen.
Kemajuan teknologi hari ini membuka peluang besar bagi umat Islam untuk kembali memimpin peradaban. Ada ruang luas untuk inovasi: kecerdasan buatan, energi terbarukan, astronomi modern, bioteknologi, hingga ekonomi digital. Semua itu dapat menjadi ladang amal jika niatnya benar.
Langkah Baru Menuju Masa Depan
Menghidupkan kembali masa keemasan Islam tidak harus meniru masa lalu. Yang terpenting adalah menghidupkan semangatnya: kesungguhan belajar, ketekunan meneliti, dan kecintaan pada pengetahuan.
Jika umat Islam bangkit dengan semangat ilmu, maka kejayaan Bagdad, Cordoba, dan Timbuktu dapat terlahir kembali dalam bentuk yang lebih modern. Dunia menunggu kontribusi baru dari generasi Muslim, kontribusi yang berakar pada tradisi besar yang pernah menghiasi sejarah Islam.
Dengan tekad, disiplin, dan cinta pada ilmu pengetahuan, peradaban Islam akan kembali bersinar bukan sebagai kenangan masa lalu, tetapi sebagai masa depan yang gemilang.
