Puasa panjang atau prolonged fasting hingga 72 jam mulai menarik perhatian publik, terutama karena manfaat kesehatannya yang diklaim mampu meregenerasi sistem kekebalan tubuh. Banyak yang penasaran, apakah ini aman, dan bagaimana Islam memandangnya?
Secara ilmiah, penelitian Dr. Valter Longo dari University of Southern California menunjukkan bahwa puasa 72 jam bisa memicu autophagy, yaitu proses alami tubuh dalam membersihkan sel-sel rusak. Selain itu, puasa ini dapat merangsang produksi stem cell yang berperan dalam peremajaan sistem imun.
Namun, praktik ini tidak untuk semua orang. Tubuh harus disiapkan secara medis agar tidak muncul risiko seperti dehidrasi, penurunan tekanan darah ekstrem, atau hipoglikemia. Konsultasi dokter sangat disarankan sebelum mencobanya.
Islam sendiri mengajarkan puasa sebagai ibadah sekaligus sarana menjaga kesehatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Berpuasalah, niscaya kalian sehat” (HR. Thabrani). Tapi, beliau tidak pernah mencontohkan puasa 72 jam tanpa berbuka.
Bahkan, praktik puasa wisal (puasa terus tanpa berbuka) dilarang oleh Nabi. Ketika sahabat bertanya tentang puasa beliau yang seperti itu, Rasulullah menjawab, “Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum oleh Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Jika ingin meneladani puasa terbaik, maka contoh Nabi Daud ‘alaihis salam lebih tepat: sehari puasa, sehari tidak. Rasulullah menyebutnya sebagai puasa paling adil dan seimbang (HR. Bukhari, Muslim).
Maka, puasa 72 jam secara ilmiah boleh jadi bermanfaat, tapi tidak boleh diniatkan sebagai ibadah syar’i. Sebaiknya dilakukan murni untuk tujuan medis atau detoksifikasi tubuh, tentu dengan bimbingan ahli gizi atau tenaga kesehatan.
Islam tidak melarang upaya menjaga kesehatan, tapi mengajarkan keseimbangan. Menjaga kesehatan itu penting, namun jangan sampai mengorbankan prinsip syariat atau membahayakan diri sendiri.