Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Soft Living: Hidup lebih pelan, bahagia lebih lama

Juara dari Kebiasaan Kecil 

Wartawan Sambut Positif Dialog Terbuka Erick Thohir di Kemenpora

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Kamis, 30 Oktober 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Soft Living: Hidup lebih pelan, bahagia lebih lama

Kesehatan mental bukan pelarian, tapi pondasi hidup.
Alfi SalamahAlfi Salamah29 Oktober 2025 Happy
Soft Living
Ilustrasi Soft Living (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Tren hidup pelan kini muncul sebagai jawaban atas gaya hidup serba cepat dan kompetitif yang semakin melelahkan. Generasi muda di berbagai negara mulai mengadopsi gaya hidup yang dikenal sebagai Soft Living memilih ketenangan, mengurangi tekanan, dan menempatkan kesehatan mental sebagai prioritas dibanding mengejar pencapaian secara penuh.

Dalam beberapa tahun belakangan, budaya kerja ekstrem atau Hustle Culture mendorong individu untuk terus‑terusan bekerja keras, lembur, dan mengejar sukses secepat mungkin. Namun semakin banyak anak muda yang bertanya: apakah gaya itu benar‑benar membuat hidup lebih bahagia? Tren Soft Living menawarkan alternatif fokus pada menikmati proses, merawat diri secara emosional maupun fisik, dan menjalani hidup lebih seimbang.

Kenapa Soft Living mulai diminati

Stres dan tekanan hidup di kalangan muda memang meningkat. Sebuah studi dari Harvard Graduate School of Education menunjukkan bahwa 36% kaum muda (usia 18‑25) melaporkan kecemasan, sedangkan 29% melaporkan depresi. Faktor‑faktor yang disebut termasuk kurangnya makna hidup, kekhawatiran finansial, dan tekanan pencapaian.

Sementara itu, penggunaan media sosial juga berdampak negatif bagi kesejahteraan generasi muda: generasi Z melaporkan penggunaan lebih dari dua jam per hari dan dampak negatif kesehatan mental yang lebih besar dibanding generasi sebelumnya.

Media sosial pun memainkan peran penting dalam penyebaran tren Soft Living. Konten‑konten yang menampilkan momen santai di rumah, hobi yang dijalani dengan penuh kesadaran, travelling untuk “healing”, hingga memilih pekerjaan dengan fleksibilitas tinggi semakin populer.

Seiring dengan itu, mereka yang menerapkan gaya hidup ini meyakini bahwa hidup tidak harus selalu kompetitif melainkan bisa lebih bermakna jika dilalui dengan ritme yang lebih pelan.

Apa yang dimaksud dengan Soft Living

Konsep Soft Living bisa dirangkum sebagai berikut:

  • Prioritas pada kesehatan mental dan emosional dibanding hanya sukses materi atau jabatan.
  • Mengurangi tekanan dari luar (pekerjaan, media sosial, perbandingan) dan memberi ruang bagi istirahat, refleksi, dan hobi.
  • Memilih proses hidup yang lebih ringan — misalnya bekerja dengan fleksibilitas, menikmati aktivitas sehari‑hari, punya waktu luang untuk diri sendiri.
  • Mengutamakan nilai “cukup” dan “nyaman” – bukan selalu lebih cepat, lebih banyak, atau lebih besar.
  • Membangun kesadaran bahwa waktu adalah investasi, bukan hanya destinasi pencapaian.

Dampak positif dan tantangan

Dampak positif

Dengan gaya hidup lebih santai seperti ini, orang bisa merasakan manfaat seperti:

  • Menurunnya rasa kelelahan atau burnout karena tekanan yang dikurangi.
  • Meningkatnya kepuasan hidup karena memilih kegiatan yang lebih bermakna.
  • Meningkatnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, yang pada gilirannya bisa memperkuat kesehatan mental.
  • Lebih sedikit stres akibat perbandingan sosial atau dorongan yang tak henti melalui media sosial.

Tantangan dan potensi risiko

Namun, tren ini bukan tanpa kritik. Beberapa pihak memperingatkan bahwa Soft Living bisa menjadi pelarian dari tantangan, bukan cara mengelolanya. Misalnya:

  • Ada kekhawatiran bahwa orang bisa memilih hidup yang “terlalu santai” hingga kurang tanggung jawab atau kehilangan arah.
  • Sebuah tulisan mengingatkan bahwa gaya hidup berhenti dari grind budaya bisa membawa rasa puas diri yang berlebihan atau menghindari konflik dan pertumbuhan pribadi.
    TIME
  • Karena tren ini sering muncul di media sosial, ada risiko bahwa versi “ideal” Soft Living menjadi tak realistis tampil santai di luar tetapi tetap membebani diri dari dalam.

Mengintegrasikan Soft Living secara seimbang

Untuk bisa menikmati Soft Living secara otentik, bisa dilakukan beberapa langkah:

  • Mulailah dengan menetapkan prioritas: misalnya, waktu untuk diri sendiri setiap hari, batasan waktu kerja atau media sosial.
  • Pelajari untuk mengatakan “tidak” pada hal‑hal yang tidak menambah kesejahteraan Anda baik pekerjaan tambahan yang melelahkan atau standar sosial yang membebani.
  • Bangun rutinitas kecil yang memberi ruang bagi refleksi atau hobi seperti membaca santai, jalan pagi, atau memasak dengan tenang.
  • Pastikan bahwa keinginan untuk hidup pelan tidak membuat Anda mengabaikan tanggung jawab atau peluang pertumbuhan. Soft Living bukan tentang berhenti berkembang, tetapi berkembang dengan ritme yang manusiawi.
  • Gunakan media sosial dengan bijak pilih konten yang inspiratif, bukan yang mendorong perbandingan atau konsumsi berlebihan.

Menatap ke depan

Soft Living muncul sebagai simbol perubahan nilai di masyarakat modern: semakin banyak yang melihat bahwa kesehatan mental bukanlah luks, melainkan kebutuhan. Dalam dunia yang bergerak sangat cepat, tren ini diprediksi akan terus berkembang seiring meningkatnya kesadaran bahwa hidup tidak hanya soal “apa yang sudah dicapai”, tetapi juga “bagaimana kita menjalani prosesnya”.

Bagi generasi muda yang lelah dengan ritme penuh tekanan, Soft Living menawarkan sebuah alternatif yang menarik bukan lari dari tanggung jawab, tetapi memilih jalan yang lebih manusiawi untuk menjalani hidup.

Gaya hidup Generasi Muda Mental Health SoftLiving
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleJuara dari Kebiasaan Kecil 

Informasi lainnya

Thrifting: Gaya Stylish yang Ramah Lingkungan

29 Oktober 2025

Meluruskan Konsep Self Love, Cinta Diri yang Sehat dan Seimbang

7 Agustus 2025

Kerja Seru di Luar Rumah, Bukan Sekadar Gaya

23 Mei 2025

Mindset Hack to Stop Overthinking

5 Mei 2025

Raqsat al-Batriq, Tarian Pinguin yang Bikin Pesta Makin Meriah

8 April 2025

Kades Wunut Klaten Bagikan THR Rp200 Ribu per Warga

31 Maret 2025
Paling Sering Dibaca

Halal Kulture District Ajak Muslim Muda Sambut Ramadan Lebih Mindful

Happy Assyifa

RK vs Lisa: Viral yang Disusun Rapi

Editorial Udex Mundzir

Serangan Fajar: Hari Tenang yang Tak Tenang

Editorial Udex Mundzir

Panduan Berkunjung ke Klinik IMC

Daily Tips Assyifa

Meski Telah Berpura-pura jadi Jakmania, Kang Emil Tetap Kalah

Opini Udex Mundzir
Berita Lainnya
Pendidikan
Adit Musthofa29 Oktober 2025

Wisuda XVI Politeknik Triguna Tasikmalaya Kukuhkan 87 Lulusan, 3 Cumlaude

Merah Putih Naik, Pemuda Cisayong Bergerak

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Timor Leste Resmi Bergabung ke ASEAN pada KTT Kuala Lumpur

Pariwisata Terancam, Efisiensi Anggaran 2025 Picu Kekhawatiran

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.