Tren hidup pelan kini muncul sebagai jawaban atas gaya hidup serba cepat dan kompetitif yang semakin melelahkan. Generasi muda di berbagai negara mulai mengadopsi gaya hidup yang dikenal sebagai Soft Living memilih ketenangan, mengurangi tekanan, dan menempatkan kesehatan mental sebagai prioritas dibanding mengejar pencapaian secara penuh.
Dalam beberapa tahun belakangan, budaya kerja ekstrem atau Hustle Culture mendorong individu untuk terus‑terusan bekerja keras, lembur, dan mengejar sukses secepat mungkin. Namun semakin banyak anak muda yang bertanya: apakah gaya itu benar‑benar membuat hidup lebih bahagia? Tren Soft Living menawarkan alternatif fokus pada menikmati proses, merawat diri secara emosional maupun fisik, dan menjalani hidup lebih seimbang.
Kenapa Soft Living mulai diminati
Stres dan tekanan hidup di kalangan muda memang meningkat. Sebuah studi dari Harvard Graduate School of Education menunjukkan bahwa 36% kaum muda (usia 18‑25) melaporkan kecemasan, sedangkan 29% melaporkan depresi. Faktor‑faktor yang disebut termasuk kurangnya makna hidup, kekhawatiran finansial, dan tekanan pencapaian.
Sementara itu, penggunaan media sosial juga berdampak negatif bagi kesejahteraan generasi muda: generasi Z melaporkan penggunaan lebih dari dua jam per hari dan dampak negatif kesehatan mental yang lebih besar dibanding generasi sebelumnya.
Media sosial pun memainkan peran penting dalam penyebaran tren Soft Living. Konten‑konten yang menampilkan momen santai di rumah, hobi yang dijalani dengan penuh kesadaran, travelling untuk “healing”, hingga memilih pekerjaan dengan fleksibilitas tinggi semakin populer.
Seiring dengan itu, mereka yang menerapkan gaya hidup ini meyakini bahwa hidup tidak harus selalu kompetitif melainkan bisa lebih bermakna jika dilalui dengan ritme yang lebih pelan.
Apa yang dimaksud dengan Soft Living
Konsep Soft Living bisa dirangkum sebagai berikut:
- Prioritas pada kesehatan mental dan emosional dibanding hanya sukses materi atau jabatan.
- Mengurangi tekanan dari luar (pekerjaan, media sosial, perbandingan) dan memberi ruang bagi istirahat, refleksi, dan hobi.
- Memilih proses hidup yang lebih ringan — misalnya bekerja dengan fleksibilitas, menikmati aktivitas sehari‑hari, punya waktu luang untuk diri sendiri.
- Mengutamakan nilai “cukup” dan “nyaman” – bukan selalu lebih cepat, lebih banyak, atau lebih besar.
- Membangun kesadaran bahwa waktu adalah investasi, bukan hanya destinasi pencapaian.
Dampak positif dan tantangan
Dampak positif
Dengan gaya hidup lebih santai seperti ini, orang bisa merasakan manfaat seperti:
- Menurunnya rasa kelelahan atau burnout karena tekanan yang dikurangi.
- Meningkatnya kepuasan hidup karena memilih kegiatan yang lebih bermakna.
- Meningkatnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, yang pada gilirannya bisa memperkuat kesehatan mental.
- Lebih sedikit stres akibat perbandingan sosial atau dorongan yang tak henti melalui media sosial.
Tantangan dan potensi risiko
Namun, tren ini bukan tanpa kritik. Beberapa pihak memperingatkan bahwa Soft Living bisa menjadi pelarian dari tantangan, bukan cara mengelolanya. Misalnya:
- Ada kekhawatiran bahwa orang bisa memilih hidup yang “terlalu santai” hingga kurang tanggung jawab atau kehilangan arah.
- Sebuah tulisan mengingatkan bahwa gaya hidup berhenti dari grind budaya bisa membawa rasa puas diri yang berlebihan atau menghindari konflik dan pertumbuhan pribadi.
TIME - Karena tren ini sering muncul di media sosial, ada risiko bahwa versi “ideal” Soft Living menjadi tak realistis tampil santai di luar tetapi tetap membebani diri dari dalam.
Mengintegrasikan Soft Living secara seimbang
Untuk bisa menikmati Soft Living secara otentik, bisa dilakukan beberapa langkah:
- Mulailah dengan menetapkan prioritas: misalnya, waktu untuk diri sendiri setiap hari, batasan waktu kerja atau media sosial.
- Pelajari untuk mengatakan “tidak” pada hal‑hal yang tidak menambah kesejahteraan Anda baik pekerjaan tambahan yang melelahkan atau standar sosial yang membebani.
- Bangun rutinitas kecil yang memberi ruang bagi refleksi atau hobi seperti membaca santai, jalan pagi, atau memasak dengan tenang.
- Pastikan bahwa keinginan untuk hidup pelan tidak membuat Anda mengabaikan tanggung jawab atau peluang pertumbuhan. Soft Living bukan tentang berhenti berkembang, tetapi berkembang dengan ritme yang manusiawi.
- Gunakan media sosial dengan bijak pilih konten yang inspiratif, bukan yang mendorong perbandingan atau konsumsi berlebihan.
Menatap ke depan
Soft Living muncul sebagai simbol perubahan nilai di masyarakat modern: semakin banyak yang melihat bahwa kesehatan mental bukanlah luks, melainkan kebutuhan. Dalam dunia yang bergerak sangat cepat, tren ini diprediksi akan terus berkembang seiring meningkatnya kesadaran bahwa hidup tidak hanya soal “apa yang sudah dicapai”, tetapi juga “bagaimana kita menjalani prosesnya”.
Bagi generasi muda yang lelah dengan ritme penuh tekanan, Soft Living menawarkan sebuah alternatif yang menarik bukan lari dari tanggung jawab, tetapi memilih jalan yang lebih manusiawi untuk menjalani hidup.
