Narasi mangkrak IKN terus bergulir di tengah publik. Namun, Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) menjawab skeptisisme itu dengan gebrakan besar—groundbreaking tahap 9 bernilai Rp6,5 triliun. Langkah ini bukan hanya simbolik, tetapi juga upaya strategis membangun kepercayaan dan menarik lebih banyak investasi.
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto untuk meresmikan proyek ini pada awal 2025 menjadi pesan kuat: pembangunan IKN adalah prioritas nasional, bukan sekadar retorika. Langkah ini juga mempertegas komitmen pemerintah terhadap agenda transformasi ibu kota.
Pembangunan IKN menghadirkan lima sektor utama: hunian, pendidikan, perhotelan, perkantoran, dan ritel. Hotel berbintang lima dengan investasi Rp1 triliun, perumahan Rp3,9 triliun, universitas Rp150 miliar, hingga fasilitas ritel senilai Rp20 miliar. Semua ini menciptakan ekosistem yang saling terintegrasi untuk mendukung ASN yang mulai pindah pada 2025.
Selain itu, nilai total investasi swasta yang mencapai Rp58 triliun, ditambah Rp6,5 triliun dari tahap 9, menegaskan daya tarik IKN bagi investor lokal maupun internasional.
Namun, proyek besar ini bukan tanpa tantangan. Infrastruktur yudikatif dan legislatif, termasuk gedung DPR, MPR, dan DPD, baru saja dimulai. Begitu pula pembangunan bandara yang ditargetkan selesai Januari 2025. Dalam skema besar, ini adalah bagian kecil dari kebutuhan pembangunan besar-besaran yang masih menggantung.
Proyek IKN di Kalimantan Timur memunculkan perdebatan panjang. Pendukungnya melihat ini sebagai langkah maju menuju pemerataan pembangunan dan dekarbonisasi di Jawa. Sebaliknya, kritik muncul terkait risiko pemborosan anggaran, ketidakpastian ekologi, dan kurangnya infrastruktur pendukung.
Pendekatan pemerintah dalam mempercepat investasi swasta melalui pembangunan tahap 9 layak diapresiasi. Model kolaborasi ini menjadi jalan keluar dari keterbatasan APBN, sekaligus memastikan proyek tidak sepenuhnya bergantung pada keuangan negara.
Namun, perhatian serius harus diberikan pada isu keberlanjutan. Pembangunan tanpa perencanaan ekologi yang matang bisa memperburuk kerusakan lingkungan. Penataan kawasan juga harus memastikan keseimbangan antara kebutuhan modernitas dan kearifan lokal masyarakat Kalimantan Timur.
Selain itu, komunikasi pemerintah dengan publik perlu diperkuat. Narasi “mangkrak” muncul karena kurangnya informasi transparan terkait progres proyek. Jika pemerintah mampu memberikan data progres secara berkala, skeptisisme publik bisa diminimalisir.
Pemerintah harus memastikan keberlanjutan proyek IKN melalui langkah konkret. Publikasi capaian pembangunan secara berkala melalui media resmi pemerintah akan membantu membangun kepercayaan publik. Selain itu, melibatkan ahli ekologi dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek penting untuk memastikan keberlanjutan.
Keterlibatan masyarakat lokal juga harus diperhatikan agar pembangunan tidak hanya membawa dampak ekonomi, tetapi juga peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar. Otorita IKN dapat menawarkan insentif pajak bagi sektor strategis untuk menarik lebih banyak investasi.
Jika langkah-langkah ini dilakukan, skeptisisme terhadap IKN akan berkurang, bahkan berubah menjadi dukungan nyata dari masyarakat.
Pembangunan IKN bukan sekadar proyek pemerintah, tetapi cita-cita kolektif Indonesia. Ini adalah peluang untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu mengelola megaproyek dengan baik, melibatkan semua pihak, dan menciptakan masa depan yang lebih merata.
Keyakinan pada keberhasilan IKN bukan hanya harapan, tetapi sebuah keharusan yang membutuhkan kerja keras, koordinasi, dan komitmen bersama.
