Tahun ini jumlah pemudik turun drastis—dari 193 juta menjadi 146 juta orang. Bukan karena orang-orang tak lagi cinta kampung halaman, tapi karena mereka tak punya cukup uang untuk pulang. Namun, di tengah kesulitan ekonomi itu, kita disuguhi pemimpin daerah yang baru dilantik malah tampil layaknya bintang panggung.
Alih-alih bekerja sunyi untuk membenahi daerahnya, mereka justru berlomba tampil di kamera. Menolak gaji, membagikan bansos, membonceng rakyat naik motor, blusukan mendadak—semua dibingkai dalam lensa pencitraan, bukan kinerja.
Padahal, jika dibandingkan dengan Lebaran tahun lalu, tekanan ekonomi tahun ini jauh lebih berat. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, upah stagnan, harga pangan tak kunjung turun, dan bantuan sosial justru dipangkas.
Cerita Supriyono dan Hamidah, buruh korban PHK yang tak bisa mudik, hanyalah dua dari ribuan potret warga yang dikorbankan sistem. Mereka yang dulu pulang membawa harapan dan rezeki, kini bahkan tak sanggup membeli tiket pulang.
Namun, pemimpinnya malah menggelar panggung. Yang menjadi simbol, bukan solusi. Yang dikedepankan adalah gestur, bukan kerja.
Lebih parah lagi, pengawasan melemah. Wartawan lokal, LSM, dan aktivis yang dulu vokal kini “dipaksa antri” parcel dan amplop THR. Suara publik dibungkam bukan dengan represi, tapi dengan bingkisan.Kontrol sosial mandul. Kritik dimatikan dengan keramahan palsu. Ruang diskusi publik diganti dengan siaran langsung penuh tepuk tangan.
Sementara itu, pelayanan dasar tetap buruk. Jalan rusak tak tersentuh, air bersih masih langka, layanan kesehatan tetap antre dan minim obat. Rakyat dibiarkan bergulat sendiri dengan hidupnya, sementara anggaran habis untuk pencitraan.
Benar bahwa arus mudik tahun ini lebih lancar. Data Korlantas menunjukkan kecelakaan turun 31 persen, dan korban meninggal menurun 32 persen dibanding 2024. Tapi jangan sampai lancarnya jalan justru menutupi kenyataan bahwa banyak yang tak bisa mudik karena tak punya ongkos.
Dibandingkan tahun lalu, tidak hanya jumlah pemudik yang menyusut, tetapi perputaran uang selama Ramadan dan Lebaran pun turun drastis: dari Rp157 triliun menjadi Rp137 triliun. Uang tidak bergerak, karena dompet rakyat semakin tipis.
Ironisnya, justru di tengah keterpurukan ini, pemimpin daerah sibuk membangun citra saleh dan merakyat. Menolak gaji sambil tetap menikmati semua fasilitas. Membagikan bansos sambil membawa kamera dan pasukan konten.
Rakyat tak butuh pertunjukan. Mereka butuh perubahan nyata. Jika pemimpin ingin menunjukan empati, maka perbaikilah layanan publik. Buka lapangan kerja. Tingkatkan anggaran pendidikan dan kesehatan. Jangan hanya tampil bersih di permukaan, tapi biarkan korupsi, kolusi, dan kemiskinan mengakar di bawah.
Dan jika ingin dihormati, jangan bungkam pengkritik dengan amplop. Beranilah mendengar suara yang tak enak di telinga. Karena dalam demokrasi, lawan bukan musuh. Kritik bukan fitnah.
Hari ini, yang menjaga rakyat bukan lagi lembaga formal, tapi kesadaran publik itu sendiri. Media alternatif, jaringan warga, dan suara-suara kecil harus kembali diberi tempat. Karena jika pengawasan mati, maka kekuasaan akan terus menyalahgunakan panggung.
Kita tidak anti pemimpin muda. Kita hanya muak pada pemimpin yang lebih sibuk bergaya daripada bekerja.Pimpinan boleh viral, tapi jangan lupa: yang masih menderita tetap rakyatnya.