Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Tutup Usia di Tangerang

Roy Suryo dan Rismon Sianipar Jadi Tersangka Kasus Ijazah Jokowi

MKD Hukum Sahroni, Nafa, dan Eko Patrio, Dua Lolos

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Minggu, 9 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

Ketika suara rakyat dipinggirkan demi proyek pusat, demokrasi daerah hanya jadi hiasan konstitusi.
Udex MundzirUdex Mundzir31 Oktober 2025 Editorial
Ancaman Pemberhentian Kepala Daerah oleh Pemerintah Pusat.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Ancaman pemberhentian kepala daerah oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian kembali menyalakan alarm bahaya bagi demokrasi lokal di Indonesia. Dalam pernyataannya pekan ini, Tito menegaskan bahwa kepala daerah yang tidak mendukung program strategis nasional, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), dapat diberhentikan oleh Presiden.

Pernyataan itu langsung menuai kritik luas dari pakar hukum dan masyarakat sipil. Banyak yang menilai langkah tersebut menabrak prinsip dasar otonomi daerah dan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya.

Dalam sistem demokrasi, kepala daerah bukan bawahan menteri. Mereka pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Ancaman pemberhentian dari pemerintah pusat karena tidak mendukung program strategis nasional adalah bentuk reduksi makna kedaulatan rakyat menjadi formalitas.

Lebih parah, jika kebijakan itu dijalankan, Indonesia bisa kembali ke pola pemerintahan sentralistik yang mengebiri desentralisasi, padahal itu adalah fondasi utama reformasi 1998.

Fakta yang disampaikan Tito memang merujuk pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun pasal itu hanya memberi kewenangan administratif berupa teguran tertulis terhadap kepala daerah yang dianggap tidak melaksanakan program strategis nasional.

Bahkan, pemberhentian kepala daerah tetap harus melalui mekanisme hukum dan politik yang ketat, termasuk keterlibatan DPRD dan Mahkamah Agung. Maka, pernyataan Tito yang menegaskan bahwa tidak perlu menunggu DPRD menimbulkan tafsir otoriter atas kewenangan eksekutif pusat.

Secara hukum, ancaman ini jelas problematik. Kepala daerah dapat diberhentikan hanya dalam kondisi tertentu, seperti meninggal dunia, mengundurkan diri, habis masa jabatan, atau tidak mampu menjalankan tugas enam bulan berturut-turut.

Tidak ada dasar hukum eksplisit yang membenarkan pemberhentian karena tidak mendukung program strategis nasional. Jika ancaman Tito direalisasikan, itu bukan pelaksanaan undang-undang, melainkan pembelokan terhadapnya.

Secara politik, pernyataan ini memperlihatkan wajah pemerintahan yang makin menutup ruang perbedaan. Dalam demokrasi, kritik dari daerah terhadap kebijakan pusat adalah mekanisme check and balance yang sehat.

Namun kini, kritik justru dianggap pembangkangan. Gubernur Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X, misalnya, hanya mengingatkan soal aspek higienitas dapur dalam program MBG. Tapi suaranya bisa saja ditafsirkan sebagai tidak mendukung program nasional.

Logika semacam ini mengarah pada politik keseragaman yang menindas nalar kritis kepala daerah.

Fenomena ini bukan sekadar perdebatan administratif, tapi cerminan krisis demokrasi yang lebih dalam. Sejak awal pemerintahan Prabowo Subianto, kecenderungan militeristik dalam pola komunikasi dan pengambilan keputusan makin tampak.

Bahasa ancaman, perintah tunggal, dan loyalitas absolut mulai menggantikan prinsip partisipasi dan deliberasi. Apa yang dulu menjadi kekuatan otonomi daerah, yaitu kemampuan menyesuaikan kebijakan pusat dengan konteks lokal, kini dipaksa tunduk pada satu komando.

Dampaknya nyata. Ketika kepala daerah tak lagi punya ruang untuk menolak kebijakan yang merugikan rakyatnya, fungsi perlindungan terhadap warga akan lumpuh.

Contohnya terlihat dalam program lumbung pangan di Papua Selatan yang menimbulkan konflik lahan dan merusak ruang hidup masyarakat adat. Wakil Gubernur Papua Selatan, Paskalis Imadawa, menolak program itu karena menggusur hutan dan menyingkirkan masyarakat Malind Anim.

Namun dengan ancaman seperti disampaikan Tito, keberanian menolak kebijakan serupa bisa lenyap.

Ironinya, istilah program strategis nasional kini digunakan sebagai tameng moral, seolah semua kebijakan pusat otomatis benar dan wajib didukung. Padahal banyak program itu bermasalah.

Ribuan kasus keracunan dalam MBG, kebocoran anggaran pada Koperasi Merah Putih, hingga kerusakan lingkungan akibat smelter dan food estate. Apakah kritik terhadap hal-hal ini bisa disebut tidak mendukung program nasional?

Jika iya, maka negara sedang menghapus perbedaan antara loyalitas dan kepatuhan buta.

Secara sosial, kebijakan top-down seperti ini menciptakan ketimpangan baru antara pusat dan daerah. Pemerintah pusat punya sumber daya besar, sedangkan daerah dipaksa menjalankan kebijakan tanpa dana memadai.

Banyak kepala daerah kini terjebak dalam dilema. Di satu sisi harus melayani rakyat, di sisi lain takut dicopot jika bersuara kritis. Kondisi ini memperkuat politik transaksional seperti yang disinggung ICW.

Kepala daerah bisa memilih diam atau berkompromi demi keamanan jabatan, bukan demi rakyat.

Dalam konteks ekonomi-politik, hubungan semacam ini memperbesar risiko korupsi kebijakan. Ketika pelaksanaan program pusat jadi alat kekuasaan, bukan kebutuhan publik, maka anggaran bisa diarahkan untuk kepentingan politik tertentu.

Para pengusaha, kontraktor, atau pejabat yang dekat dengan elit pusat akan diuntungkan. Sementara daerah yang kritis akan terpinggirkan. Sentralisasi kekuasaan seperti ini mengingatkan kita pada masa Orde Baru, dan kini tanda-tandanya muncul lagi.

Secara budaya politik, ancaman Tito juga mengikis etos kepemimpinan lokal. Kepala daerah bukan lagi simbol aspirasi masyarakat, melainkan operator kebijakan pusat.

Padahal, esensi otonomi daerah adalah memberi ruang inovasi lokal. Banyak keberhasilan daerah, seperti reformasi birokrasi Surabaya atau program partisipatif Banyuwangi, lahir karena kepala daerah berani berbeda.

Jika semua dipaksa satu suara, kita sedang membunuh kreativitas pemerintahan daerah yang menjadi fondasi kemajuan.

Sebagai bangsa, kita perlu waspada terhadap bahasa politik yang mengklaim kepentingan nasional tanpa akuntabilitas. Sejarah menunjukkan, banyak kebijakan mengatasnamakan nasionalisme justru menindas rakyat daerah.

Nasionalisme sejati bukan ketaatan buta pada pusat, melainkan keberanian membela rakyat dari kebijakan yang merugikan mereka, siapa pun penguasanya.

Pemerintah pusat tentu berhak mengarahkan pembangunan nasional. Tapi hak itu tak boleh menghapus hak daerah untuk bersuara.

Justru dengan ruang dialog dan otonomi, pelaksanaan program nasional bisa lebih efektif. Kepala daerah yang kritis bukan ancaman, tapi mitra untuk memperbaiki kebijakan agar lebih berpihak pada rakyat.

Menteri Dalam Negeri harus berhenti memakai bahasa ancaman. Demokrasi tidak tumbuh di bawah tekanan, melainkan di ruang partisipasi.

Kepala daerah yang dipilih rakyat tidak boleh diperlakukan sebagai bawahan. Jika pemerintah pusat terus menempatkan mereka sebagai event organizer kebijakan nasional, maka cita-cita desentralisasi akan menjadi slogan kosong.

Sebagai media, kami menilai ancaman pemberhentian kepala daerah karena tidak mendukung program strategis nasional adalah kemunduran demokrasi.

Pemerintah pusat harus menegakkan supremasi hukum, bukan supremasi kehendak. Demokrasi daerah adalah benteng terakhir rakyat untuk memastikan kebijakan publik berpihak pada kepentingan mereka.

Jika benteng itu dihancurkan, suara rakyat akan hilang di tengah hiruk-pikuk jargon pembangunan nasional.

Demokrasi Lokal Otonomi Daerah Pemerintahan Pusat Politik Nasional Prabowo Subianto
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleBerhenti Pakai Satu Handuk untuk Badan dan Wajah
Next Article Gelombang PHK Global 2025: Amazon hingga Nestlé Pangkas Ribuan Pekerja

Informasi lainnya

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Mendagri Tegaskan Kepala Daerah Wajib Dukung Program Nasional

30 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025

Menag di Vatikan: Diplomasi Iman dan Kemanusiaan

26 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Survei KIC: 83,6% Masyarakat Indonesia Familiar dengan AI

Techno Assyifa

Jamaah Haji Wafat Dibadalkan Gratis dengan Sertifikat Bukti

Islami Alfi Salamah

Cara Memilih Hewan Qurban, Jenis, Usia, dan Kesehatan yang Harus Diperhatikan

Islami Udex Mundzir

Menembus Gelap

Travel Udex Mundzir

DPR AS Desak Apple dan Google Hapus TikTok Januari 2025

Techno Silva
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

Wakil Wali Kota Bandung Diperiksa Kejaksaan, Bukan OTT

KPK Cetak Quattrick di Riau, Empat Gubernur Tersandung Korupsi

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.