Indonesia tampak memble. Dalam menghadapi kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat, respons pemerintah justru lebih banyak bernada lunak dan penuh kompromi. Presiden Donald Trump kembali mengguncang tatanan perdagangan global dengan memberlakukan tarif hingga 46% terhadap berbagai negara, termasuk 32% pada barang ekspor asal Indonesia.
Langkah tersebut langsung berdampak pada ekonomi nasional. IHSG anjlok 9%, rupiah melemah, dan pelaku usaha dalam negeri mulai panik. Namun alih-alih menunjukkan posisi tegas atau alternatif kebijakan, pemerintah Indonesia justru memilih jalur negosiasi satu arah, dengan serangkaian pernyataan normatif yang minim strategi.
Presiden Prabowo menyebut bahwa Indonesia tidak akan membalas, melainkan memilih “berunding” karena AS adalah mitra strategis. Menteri Airlangga Hartarto mengumumkan rencana revitalisasi TIFA (Trade and Investment Framework Agreement), dan Sri Mulyani menyatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap AS tak besar.
Tetapi data menunjukkan sebaliknya. Ekspor Indonesia ke AS sepanjang 2024 mencatatkan surplus USD 14,34 miliar. Produk seperti mesin listrik, alas kaki, dan tekstil—yang kini dikenakan tarif tinggi—adalah tulang punggung ekspor padat karya.
Sementara negara-negara lain seperti Vietnam, Korea Selatan, dan bahkan Thailand, telah menegosiasikan ulang akses pasar mereka atau bersiap melakukan retaliasi, Indonesia justru menawarkan pembelian minyak mentah dari AS sebagai “kompensasi” untuk menurunkan tensi.
Lebih ironis lagi, sejak 2023 Indonesia tidak memiliki duta besar untuk AS. Dalam konteks geopolitik dan diplomasi perdagangan, absennya perwakilan resmi di Washington bukan sekadar kelalaian administratif, tetapi pengabaian strategis.
Ketika tensi meningkat, Indonesia malah tertinggal satu langkah. Negara-negara pesaing kita di ASEAN telah mengaktifkan jalur diplomatik bilateral secara agresif. Bahkan Vietnam—yang dianggap Trump sebagai “pelanggar terburuk”—masih berani meminta penundaan tarif.
Pengamat ekonomi pembangunan dari Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menyebut ketiadaan duta besar sebagai kesalahan besar. Tanpa representasi aktif di Washington, Indonesia tidak memiliki alat komunikasi yang memadai dalam menyampaikan posisi dagangnya.
Sementara itu, pemerintah justru menyiapkan proposal deregulasi non-tarif, pelonggaran TKDN, hingga insentif fiskal dan bea masuk. Semua ini disusun dalam kerangka agar produk AS lebih mudah masuk pasar Indonesia—bukan untuk memperkuat daya saing ekspor kita.Ini bukan strategi. Ini adalah bentuk ketundukan.
Ekonom dari Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, secara gamblang menyebut bahwa Indonesia “tidak berani menunjukkan opsi retaliasi di meja”. Ia menilai bahwa negara-negara seperti AS justru menghormati mitra dagang yang siap menolak, bukan yang siap menuruti.
Trump sendiri dikenal sebagai pemimpin yang hanya merespons tekanan nyata. Ketika China melakukan pembalasan tarif, Trump mencoba meredam eskalasi dengan negosiasi keras. Tetapi terhadap negara-negara yang tunduk, ia terus menekan.
Maka ketika Indonesia memilih tak membalas, bahkan menunjukkan niat membeli lebih banyak dari AS, sinyal yang dikirim sangat lemah. Alih-alih tawar-menawar, Indonesia terlihat seperti pemohon yang cemas kehilangan pasar ekspor.
Di sisi lain, pernyataan Presiden Prabowo soal “kesempatan untuk menjadi efisien” patut dipertanyakan. Sebab pemerintah justru mengusulkan pembelian energi dari AS—langkah yang bertentangan dengan visi swasembada energi yang selama ini diusungnya.
Kebijakan ini penuh kontradiksi. Ingin berdiri di atas kaki sendiri, tapi mengiyakan skema yang memperkuat dominasi mitra dagang.
Sementara itu, dunia sedang berubah. Negara-negara berkembang mulai menyusun aliansi baru. Indonesia telah bergabung dengan New Development Bank (NDB) milik BRICS. Tapi langkah konkret untuk memperkuat ekspor ke Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan belum terlihat jelas.
Sikap pemerintah yang terlalu diplomatis juga terlihat dalam keraguan untuk memimpin sikap bersama ASEAN. Padahal, dengan kekuatan kolektif ASEAN, posisi tawar terhadap AS bisa jauh lebih besar.Namun Indonesia, sebagai negara terbesar di kawasan, justru tidak mengambil peran sentral. Sekali lagi, memble.
Kondisi ini mencerminkan kelemahan mendasar dalam tata kelola diplomasi ekonomi Indonesia. Pemerintah tampak tidak punya peta jalan jelas untuk mengelola risiko perdagangan global.
Di saat tekanan muncul, kebijakan kita hanya bersifat reaktif, bukan antisipatif.Sementara negara lain memperkuat daya saing industri, membuka pasar baru, dan merespons tekanan dengan posisi strategis, Indonesia justru sibuk membujuk agar tidak ditekan lebih lanjut.
Kesimpulannya, pemerintah Indonesia gagal menunjukkan kepemimpinan yang kokoh di tengah krisis dagang global. Alih-alih merespons dengan keberanian dan kalkulasi, pemerintah justru tampak bingung dan terlalu kompromistis.
Dalam dunia dagang yang keras, sikap memble hanya akan menjadikan Indonesia bulan-bulanan kebijakan proteksionis negara lain.