Pernahkah kita sadar, mengapa begitu banyak investor asing lebih memilih membuka pabrik di Vietnam dibandingkan di Indonesia? Ini bukan lagi sekadar persoalan upah buruh yang lebih murah, bukan pula karena pasar yang lebih besar, atau tenaga kerja yang lebih terampil. Inti masalahnya terletak pada pola pikir pemerintah dan masyarakat kita yang masih memandang bisnis dengan curiga, bahkan memusuhi.
Vietnam menjadi contoh konkret bagaimana negara bisa memosisikan diri sebagai fasilitator, bukan penghalang. Ketika investor datang dan menyatakan butuh lahan satu hektare, pemerintah Vietnam langsung mencarikan lokasi strategis. Ketika diminta menyiapkan ribuan pekerja, pemerintahnya yang turun tangan menyusun skema perekrutan, pelatihan, hingga distribusi tenaga kerja. Bahkan, pembangunan pabrik disambungkan ke kontraktor lokal terbaik tanpa calo dan pungli. Semua perizinan diurus cepat dan terintegrasi, membuat investor bisa fokus pada produksi dan ekspansi pasar.
Sementara di Indonesia, cerita yang muncul justru sebaliknya. Investor asing maupun lokal harus melewati jalan panjang berliku. Mulai dari calo lahan, pungutan liar, izin yang tumpang tindih, hingga tekanan dari ormas setempat. Tidak jarang, setelah pabrik berdiri pun, para pengusaha harus menghadapi demo berkepanjangan dari serikat pekerja yang menuntut berbagai macam hal di luar kesepakatan awal.
Menurut data Kementerian Investasi/BKPM, realisasi investasi asing langsung (FDI) ke Vietnam pada 2023 mencapai USD 36 miliar. Angka ini naik sekitar 15 persen dari tahun sebelumnya. Sebaliknya, Indonesia hanya mencatat sekitar USD 24 miliar, stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini jelas menunjukkan ada masalah fundamental yang menghalangi arus modal masuk ke tanah air.
Jika kita cermati, masalah ini lebih dari sekadar birokrasi. Ini soal mentalitas. Di Indonesia, pelaku usaha sering kali dianggap “orang kaya” yang wajib “membagi kue” kepada berbagai pihak. Dari oknum pejabat daerah, ormas, hingga preman lokal, semua merasa berhak mendapatkan “jatah” begitu ada usaha yang berdiri. Pandangan inilah yang membebani investor.
Padahal, logika sederhananya: investor datang membawa modal, membuka lapangan pekerjaan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Ketika usaha mereka lancar, daerah sekitar juga akan berkembang. Muncul permintaan jasa, warung makan, kontrakan, hingga transportasi lokal. Tapi mentalitas “sapi perah” justru menutup peluang efek ganda tersebut.
Secara hukum, pemerintah sebenarnya sudah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang bertujuan memangkas perizinan dan birokrasi. Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak peraturan turunan yang justru membuka ruang pungli dan tumpang tindih peran antarinstansi. Selain itu, resistensi dari kelompok tertentu memperlambat transformasi yang sudah dirancang.
Dari sisi sosial, mentalitas anti-investor yang kerap dihembuskan juga memperparah situasi. Demonstrasi dengan tuntutan di luar rasionalitas sering dijadikan alat tawar untuk kepentingan kelompok. Buruh menuntut kenaikan gaji di luar kemampuan perusahaan, ormas meminta “jasa keamanan” dengan ancaman intimidasi, sementara pemerintah daerah menuntut “kontribusi khusus” yang tidak diatur resmi. Semua ini menciptakan atmosfer yang tidak ramah bagi pertumbuhan bisnis.
Dampak ekonominya sangat nyata. Indonesia kehilangan kesempatan menyerap jutaan tenaga kerja baru. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa tingkat pengangguran terbuka per Februari 2024 masih di angka 5,45 persen. Artinya, jutaan orang yang seharusnya bisa bekerja di pabrik-pabrik baru justru terpaksa bertahan dalam sektor informal atau menjadi pengangguran.
Dari sudut pandang budaya, kita harus mulai menggeser cara pandang terhadap pelaku usaha. Membangun usaha adalah upaya membawa solusi, bukan menciptakan beban. Usaha baru berarti peluang, inovasi, dan ruang tumbuh bagi daerah sekitar. Pemerintah daerah, masyarakat, hingga aparat penegak hukum semestinya bahu-membahu memfasilitasi, bukan memeras.
Sebagai solusi, reformasi mentalitas harus menjadi prioritas utama. Pertama, pemerintah harus serius memperkuat implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dengan menertibkan pungutan liar, mempermudah perizinan, dan menghilangkan birokrasi yang membebani. Petugas di lapangan harus diberi sanksi tegas bila terbukti mempersulit atau mencari keuntungan pribadi.
Kedua, pendidikan kewirausahaan harus diperluas hingga ke tingkat sekolah dan masyarakat umum. Masyarakat harus paham bahwa bisnis bukan musuh. Dengan meningkatnya kesadaran kolektif, investor akan merasa aman dan nyaman menanamkan modal.
Ketiga, sinergi pemerintah pusat dan daerah harus ditingkatkan. Tidak boleh ada visi pembangunan yang saling bertolak belakang. Jika pusat mengundang investasi, daerah wajib mendukung dengan kebijakan sinkron, bukan malah menciptakan aturan tambahan yang mempersulit.
Keempat, perlindungan hukum untuk investor harus dijamin. Mekanisme pengaduan harus diperkuat, dengan jalur cepat untuk menyelesaikan kasus-kasus pemerasan, intimidasi, atau pungli. Investor yang merasa aman akan lebih tertarik melakukan ekspansi, yang pada akhirnya menciptakan efek domino positif bagi ekonomi lokal dan nasional.
Akhirnya, kita harus berani jujur mengakui bahwa salah satu penghambat terbesar pembangunan ekonomi Indonesia adalah mentalitas kita sendiri. Kalau kita masih memandang investor sebagai “lumbung uang” yang harus diperas, jangan heran jika negara tetangga seperti Vietnam terus berlari, sementara kita hanya berdiri menonton di pinggir jalan.
Sebagai media, kami menegaskan bahwa perubahan mindset adalah syarat mutlak jika kita ingin Indonesia menjadi negara tujuan investasi utama di Asia Tenggara. Fasilitasi yang mudah, birokrasi yang bersih, serta masyarakat yang mendukung adalah kunci untuk membuka pintu investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.