Di tengah dunia yang penuh kepentingan dan kelonggaran terhadap prinsip, kisah ini hadir seperti air jernih di padang gersang. Kisah tentang seorang hamba sahaya bernama Mubarok, yang menunjukkan bahwa amanah bukan soal status, tapi soal akhlak dan rasa takut kepada Allah.
Suatu hari, pemilik kebun delima meminta Mubarok, budaknya yang telah bekerja bertahun-tahun menjaga kebun, untuk memetikkan delima yang matang dan manis.
“Mubarok, petikkan delima yang matang dan manis. Aku ingin mencicipinya,” kata sang tuan.
Mubarok menurut. Ia memetik satu, lalu menyuguhkannya. Tapi ketika dicicipi, ternyata buah itu kecut. Sang tuan pun memintanya lagi. Mubarok mencoba yang lain. Masih kecut. Sampai ketiga kalinya, sang tuan mulai gusar.
“Sudah lebih dari sepuluh tahun kamu menjaga kebun ini. Masa kamu tidak tahu mana yang manis dan mana yang tidak?” katanya dengan nada kesal.
Mubarok menjawab dengan tenang namun mengejutkan:
“Tuan, Anda hanya memerintahkan saya untuk menjaga kebun ini, bukan untuk mencicipinya. Maka selama sepuluh tahun ini, saya tidak pernah memetik apalagi mencicipi satu pun buah delima.”
Seketika itu tuannya terdiam. Tak ada kata-kata lain yang lebih tepat untuk menggambarkan rasa kagumnya. Ia takjub pada sikap Mubarok, seorang budak yang bahkan tak merasa punya hak sedikit pun atas buah yang dia rawat setiap hari.
Inilah amanah dalam makna sejati. Menjaga titipan bukan hanya dari kerusakan, tetapi juga dari potensi godaan. Tidak mengambil meskipun bisa. Tidak memanfaatkan meskipun punya akses. Dan dari lelaki sederhana ini, lahirlah seorang tokoh besar dalam sejarah Islam: Abdullah Ibn al-Mubarak, ulama, ahli ibadah, dan pejuang yang terkenal karena ketakwaan dan keilmuannya.
Pelajaran dari kisah ini sangat relevan hari ini. Ketika jabatan dianggap hak untuk menikmati fasilitas, ketika kedekatan dengan kekuasaan sering kali disalahgunakan, kisah Mubarok mengajarkan kepada kita: integritas lahir bukan karena dilihat orang, tapi karena takut kepada Tuhan.
Semoga kisah ini menanamkan dalam hati kita nilai amanah, kejujuran, dan rasa cukup. Sebab dari seorang yang menjaga titipan dengan jujur, Allah bisa menumbuhkan generasi yang mulia.