Gelombang demonstrasi anarkis yang meledak akhir Agustus menandai titik krusial dalam kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Situasi ini bukan sekadar respons spontan rakyat terhadap kebijakan yang membebani, melainkan akumulasi kekecewaan terhadap arah pemerintahan yang dianggap kehilangan kendali. Publik merasakan jurang yang makin lebar antara elite politik dan denyut nadi rakyat.
Pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago menegaskan, Prabowo tidak bisa terus “mengasuh” orang-orang warisan Presiden Jokowi. Kabinet yang berisi figur lemah hanya akan menjadi beban. Menteri yang berpolemik, abai pada rakyat, dan gagal menunjukkan keberpihakan kebijakan harus segera dicopot. Pernyataan itu bukan sekadar kritik, melainkan cermin dari kegelisahan publik yang kian membesar.
Faktanya, beberapa kebijakan pemerintah dalam delapan bulan terakhir memang memperlihatkan pola membingungkan. Pajak baru diterapkan tanpa komunikasi yang jelas. Subsidi dipotong di saat biaya hidup melambung. Regulasi energi berubah-ubah, membingungkan konsumen maupun pelaku usaha. Semua ini menambah beban rakyat, yang pada akhirnya meluapkan kemarahan di jalanan.
Masalah tidak berhenti di situ. Kabinet yang seharusnya solid justru terlihat terpecah. Beberapa menteri lebih sibuk menciptakan kontroversi daripada menyusun solusi. Publik melihat perdebatan di parlemen atau kabinet lebih mirip drama, bukan kerja nyata. Situasi ini memperlemah wibawa Presiden, dan memberi kesan bahwa ia tidak benar-benar memegang kendali penuh atas pemerintahannya.
Politik warisan menjadi batu sandungan serius. Prabowo memang mewarisi kabinet yang sebagian besar berisi tokoh lama dari era Jokowi. Namun, publik tidak bisa lagi menerima alasan transisi. Mereka menuntut perubahan nyata. Jika Presiden tidak berani menyingkirkan figur bermasalah, ia akan ikut menanggung citra buruk yang mereka bawa.
Dari sisi hukum, publik semakin tidak percaya. Polri dipersepsikan represif dan manipulatif, lebih melindungi pejabat daripada rakyat. Setiap bentrokan dengan massa hanya mempertegas stigma itu. Reformasi Polri mutlak diperlukan jika Prabowo ingin mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap hukum. Tanpa langkah ini, aparat akan terus dilihat sebagai musuh rakyat, bukan pengayom.
Kekecewaan juga merembet ke lembaga legislatif. Tingkah anggota DPR yang berjoget di tengah penderitaan rakyat menjadi simbol sinisme politik yang parah. Rakyat merasa dilecehkan. Mereka melihat wakil rakyat lebih sibuk mencari hiburan ketimbang mencari solusi. Reformasi etika politik di DPR bukan lagi pilihan, tetapi kebutuhan mendesak agar lembaga itu tidak semakin kehilangan legitimasi.
Secara sosial, ketidakpuasan yang menumpuk berbahaya. Masyarakat semakin mudah terprovokasi. Demonstrasi kehilangan arah, dan narasi tuntutan menjadi kabur. Dalam ruang kosong itu, provokator masuk, memicu bentrokan, dan mengarahkan situasi ke kerusuhan. Jika dibiarkan, bola salju kemarahan akan semakin besar, menelan apa pun di depannya—termasuk kredibilitas Presiden.
Dari sisi ekonomi, kebijakan yang membingungkan membuat rakyat makin frustrasi. Harga pangan naik, daya beli melemah, sementara beban pajak meningkat. Situasi ini diperparah dengan komunikasi pemerintah yang minim. Alih-alih memberi kepastian, kebijakan ekonomi justru menimbulkan rasa waswas. Investor ragu, pelaku usaha bingung, rakyat marah.
Presiden tidak bisa lagi menunda keputusan besar. Publik menunggu langkah tegas untuk membuktikan bahwa ia berbeda. Mengganti menteri bermasalah, mengevaluasi kebijakan membebani, dan memperkuat komunikasi publik adalah agenda mendesak. Hanya dengan itu, kepercayaan yang tergerus bisa sedikit demi sedikit dipulihkan.
Kritik terhadap warisan Jokowi sebetulnya bukan sekadar soal nama-nama menteri. Lebih dalam dari itu, kritik menyasar pola kepemimpinan yang lamban, kompromistis, dan cenderung membiarkan masalah menumpuk. Prabowo tidak bisa melanjutkan pola itu. Ia harus menghadirkan gaya kepemimpinan yang lebih tegas, berorientasi pada solusi, dan tidak ragu menyingkirkan parasit politik.
Dari perspektif budaya politik Indonesia, momen seperti ini sering menjadi titik balik. Reformasi 1998 lahir dari akumulasi kemarahan yang tidak direspons dengan bijak. Kini, gejala serupa tampak di jalanan. Jika Presiden gagal membaca tanda zaman, bukan mustahil ia akan terseret dalam arus besar kemarahan yang semakin sulit dikendalikan.
Solusi konkret harus segera ditampilkan. Pertama, evaluasi total kabinet, dengan mencopot menteri yang gagal atau justru membebani. Kedua, hentikan kebijakan yang menambah penderitaan rakyat, terutama dalam sektor pangan, energi, dan perpajakan. Ketiga, lakukan reformasi institusi Polri dan DPR untuk mengembalikan martabat negara di mata rakyat.
Keempat, perkuat komunikasi publik agar setiap kebijakan bisa dipahami, bukan ditolak mentah-mentah. Rakyat bukan menolak perubahan, tetapi menolak diperlakukan sebagai objek yang tidak diajak bicara. Partisipasi dan transparansi adalah kunci agar pemerintah tidak selalu kalah oleh rumor dan provokasi.
Akhirnya, Prabowo sedang berada di persimpangan. Apakah ia akan dikenang sebagai Presiden yang berani membangun identitas pemerintahan sendiri, atau hanya menjadi kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya dengan semua kelemahannya? Jawaban itu ada pada keberanian mengambil keputusan hari ini.
Jika ia memilih tegas, berani, dan berpihak pada rakyat, maka sejarah akan mencatatnya sebagai pemimpin yang mampu mengubah arah. Tetapi jika ia ragu dan terus membiarkan kabinet lemah, maka kekacauan sosial yang sedang tumbuh bisa menjadi warisan paling pahit bagi pemerintahannya.