Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Lepaskan Ketegangan, Raih Kedamaian

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 24 Oktober 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Aparat Menghalalkan Pungli “Asal Disepakati”

Udex MundzirUdex Mundzir16 November 2024 Politik
Ilustrasi Pungli
Ilustrasi Pungli (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Praktik pungutan liar (pungli) masih menjadi tantangan besar dalam birokrasi Indonesia, terutama di tingkat desa. Meski pemerintah telah gencar memberantas pungli dengan membentuk Satuan Tugas Saber Pungli, kenyataannya praktik ini tetap ada, bahkan seringkali dianggap wajar atau “dihalalkan” oleh aparat desa.

Fenomena ini, di mana pungli dianggap boleh dilakukan “asal disepakati,” menunjukkan bagaimana budaya dan mentalitas birokrasi masih perlu banyak perbaikan.

Budaya “Asal Disepakati”

Budaya “asal disepakati” sering kali menjadi alasan untuk pembenaran pungli. Dengan dalih kesepakatan bersama atau atas dasar “kebutuhan operasional desa,” sejumlah aparat di tingkat desa dan kelurahan merasa berhak melakukan pungutan yang tidak resmi.

Pungli jenis ini biasanya dikenakan untuk hal-hal kecil yang secara hukum sebenarnya tidak memerlukan biaya tambahan, seperti pengurusan administrasi tanah atau penerbitan dokumen tertentu.

Dalam banyak kasus, yang bersepakat terkait pungutan ini sebenarnya hanya segelintir orang, misalnya perangkat desa atau tokoh masyarakat tertentu yang memiliki kedudukan, seperti Ketua RT, Ketua RW, atau aparat lainnya.

Tak jarang, tokoh-tokoh ini dipandang sebagai “panutan” di desa, meskipun pemahaman mereka tentang aturan tidak mendalam. Di beberapa daerah, tokoh yang sebenarnya kurang berwawasan ini dianggap sebagai pemimpin, padahal sikap mereka justru memperkuat praktik pungli. Mereka berhasil “diokohkan” dan mengelabui masyarakat yang lebih kritis dan vokal, yang mungkin menentang atau tidak setuju dengan pungutan liar tersebut.

Hasilnya, kelompok masyarakat yang sebenarnya ingin berbicara atau melawan pungli kerap kali terintimidasi oleh “kesepakatan” palsu yang didorong oleh pihak-pihak ini.

Peran Aparat dan Keterlibatan

Idealnya, aparat desa seperti Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) dan Babinsa (Bintara Pembina Desa) memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari praktik pungli. Namun, tidak jarang ditemukan kasus di mana oknum aparat ini justru ikut mengamankan praktik pungli dengan alasan menjaga stabilitas atau ketertiban desa.

Alih-alih menjadi pengawas yang membantu masyarakat menolak pungli, mereka justru berperan dalam mempertahankan budaya pungli dengan alasan “asal disepakati.”

Contoh kasus ini pernah terjadi di beberapa daerah, di mana Bhabinkamtibmas dan Babinsa diduga tidak hanya mengetahui pungli di desa, tetapi juga membiarkan, bahkan mendukungnya, dan malah ikut ambil bagian. Kondisi ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara tugas dan perilaku aparat, yang seharusnya menjaga keadilan dan melindungi masyarakat dari pungutan yang memberatkan.

Tantangan dalam Memberantas Budaya Pungli

Memberantas pungli bukanlah tugas yang mudah, terutama jika ada oknum aparat yang justru mendukung atau “menghalalkan” pungli tersebut. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam memberantas pungli, khususnya di tingkat desa, antara lain:

  1. Mentalitas Birokrasi yang Kuat
    Pada level birokrasi desa, ada kecenderungan untuk menganggap praktik pungli sebagai hal yang wajar atau bahkan “hak” yang sudah lama berlangsung. Budaya ini sulit dihilangkan tanpa adanya penegakan hukum yang tegas.
  2. Kurangnya Kesadaran Hukum:
    Banyak masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami bahwa mereka berhak mendapatkan pelayanan publik tanpa pungutan. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum aparat untuk melakukan pungli dengan cara yang lebih halus, misalnya melalui istilah “uang sukarela”, “ucapan terima kasih”, yang diminta dengan paksaan “seridonya”.
  3. Minimnya Pengawasan di Tingkat Desa
    Di banyak desa, pengawasan atas praktik birokrasi masih lemah, sehingga pungli sering kali berlangsung tanpa adanya kontrol dari instansi terkait atau pemerintah pusat.
  4. Keterlibatan Oknum Aparat
    Adanya indikasi bahwa Bhabinkamtibmas atau Babinsa terlibat dalam mengamankan praktik pungli menunjukkan kompleksitas masalah. Hal ini membutuhkan pengawasan lebih ketat dari pihak berwenang.

Dampak Negatif Budaya “Asal Disepakati” bagi Masyarakat

Budaya pungli yang dihalalkan dengan “kesepakatan” ini memiliki dampak buruk jangka panjang bagi masyarakat, antara lain:

Membebani Masyarakat Ekonomi Rendah
Pungli menghambat masyarakat berpenghasilan rendah dalam mengakses pelayanan dasar, karena mereka harus mengeluarkan uang tambahan di luar biaya resmi.

Mengurangi Kepercayaan pada Aparat Desa
Jika aparat desa yang seharusnya menjaga ketertiban justru terlibat dalam pungli, kepercayaan masyarakat akan menurun. Masyarakat mungkin akan semakin enggan bekerja sama dalam program pemerintah yang sebenarnya bermanfaat.

Membiarkan Korupsi Berlangsung di Akar Rumput
Pungli merupakan bentuk korupsi yang terjadi di tingkat dasar. Jika dibiarkan, hal ini bisa berdampak pada mentalitas korupsi yang terus berakar di masyarakat, sehingga sulit diberantas di tingkat yang lebih tinggi.

Upaya dan Langkah untuk Mengatasi Masalah

Untuk mengatasi masalah pungli, khususnya yang “dihalalkan” dengan alasan “kesepakatan,” diperlukan langkah-langkah konkret dan sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan:

  1. Sosialisasi dan Edukasi Hukum
    Masyarakat perlu lebih memahami hak-hak mereka dalam memperoleh pelayanan publik tanpa pungutan liar. Pemerintah bersama aparat desa sebaiknya rutin melakukan sosialisasi, termasuk mengenai peran dan fungsi Saber Pungli.
  2. Pengawasan yang Lebih Ketat
    Pengawasan terhadap praktik pungli di tingkat desa harus diperkuat. Pemerintah dapat melibatkan lembaga pengawas seperti Inspektorat Daerah atau Ombudsman untuk memantau aktivitas di lapangan.
  3. Pemberdayaan Masyarakat untuk Berani Melapor
    Masyarakat harus didorong untuk berani melaporkan jika menemukan praktik pungli. Melalui platform seperti Saber Pungli, masyarakat bisa melapor secara anonim untuk meminimalisir intimidasi dari oknum aparat.
  4. Tindakan Tegas Terhadap Oknum yang Terlibat
    Jika ada aparat yang terbukti terlibat dalam pungli, mereka harus dikenakan sanksi sesuai hukum. Penegakan hukum yang tegas akan menjadi contoh bagi aparat lain agar tidak melakukan penyimpangan.
  5. Pelatihan Etika dan Integritas bagi Aparat Desa
    Aparat desa perlu mendapatkan pelatihan khusus mengenai etika dan integritas dalam pelayanan publik, agar mereka paham betul tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa pungutan tambahan.

Budaya pungli yang dihalalkan “asal disepakati” mencerminkan tantangan besar dalam memperbaiki tata kelola dan integritas di tingkat desa. Aparat desa, termasuk Bhabinkamtibmas dan Babinsa, seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat dari praktik-praktik yang merugikan.

Dengan komitmen bersama, pemberantasan pungli dapat dijalankan lebih efektif dan kepercayaan masyarakat pada birokrasi desa dapat dipulihkan.

Aparat Desa Biroksasi Desa Pungli
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleCara Aman Membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Tanpa Pungutan Liar
Next Article Pelatihan Wirausaha Pemuda Transmigran Kutim Dorong Kemandirian

Informasi lainnya

KPU Batalkan Aturan 731/2025, Dokumen Capres-Cawapres Bisa Diakses Publik

16 September 2025

Pakar Hukum Desak Penetapan Tersangka Dito Ariotedjo-Budi Arie

10 September 2025

RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas 2025

9 September 2025

Mendagri Tito Wajibkan Siskamling Aktif di Seluruh RT/RW

9 September 2025

Purbaya Tuai Kontroversi, Sebut Tuntutan 17+8 Hanya Suara Kecil

9 September 2025

Prabowo Tunda Pelantikan Menpora, Nama Masih Dirahasiakan

8 September 2025
Paling Sering Dibaca

Groundsel Raksasa: Harta Prasejarah di Atap Afrika

Travel Ericka

Puasa 72 Jam, Sehatkah Menurut Islam dan Ilmu Kedokteran?

Daily Tips Ericka

Wae Rebo, Desa di Atas Awan yang Menyimpan Pesona Budaya dan Alam

Travel Alfi Salamah

10 Tips Penting Dalam Memilih Calon Presiden

Daily Tips Alfi Salamah

Pemblokiran Rekening Tanpa Akal

Editorial Udex Mundzir
Berita Lainnya
Kesehatan
Alfi Salamah23 Oktober 2025

Manfaat Sehat Biji Selasih untuk Tubuh dan Kulit

Firnadi Ikhsan Serap Aspirasi Tiga Delegasi di Hari Aspirasi PKS Kaltim

WMSJ 2025 Hadir di Jakarta, Ribuan Pramuka Muslim Dunia Berkumpul

Pemecatan Shin Tae-yong, PSSI Hadapi Beban Pesangon Rp 60 Miliar

Kasus Radiasi Cikande Masuk Tahap Penyidikan, PT PMT Dianggap Lalai

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.