Praktik pungutan liar (pungli) masih menjadi tantangan besar dalam birokrasi Indonesia, terutama di tingkat desa. Meski pemerintah telah gencar memberantas pungli dengan membentuk Satuan Tugas Saber Pungli, kenyataannya praktik ini tetap ada, bahkan seringkali dianggap wajar atau “dihalalkan” oleh aparat desa.
Fenomena ini, di mana pungli dianggap boleh dilakukan “asal disepakati,” menunjukkan bagaimana budaya dan mentalitas birokrasi masih perlu banyak perbaikan.
Budaya “Asal Disepakati”
Budaya “asal disepakati” sering kali menjadi alasan untuk pembenaran pungli. Dengan dalih kesepakatan bersama atau atas dasar “kebutuhan operasional desa,” sejumlah aparat di tingkat desa dan kelurahan merasa berhak melakukan pungutan yang tidak resmi.
Pungli jenis ini biasanya dikenakan untuk hal-hal kecil yang secara hukum sebenarnya tidak memerlukan biaya tambahan, seperti pengurusan administrasi tanah atau penerbitan dokumen tertentu.
Dalam banyak kasus, yang bersepakat terkait pungutan ini sebenarnya hanya segelintir orang, misalnya perangkat desa atau tokoh masyarakat tertentu yang memiliki kedudukan, seperti Ketua RT, Ketua RW, atau aparat lainnya.
Tak jarang, tokoh-tokoh ini dipandang sebagai “panutan” di desa, meskipun pemahaman mereka tentang aturan tidak mendalam. Di beberapa daerah, tokoh yang sebenarnya kurang berwawasan ini dianggap sebagai pemimpin, padahal sikap mereka justru memperkuat praktik pungli. Mereka berhasil “diokohkan” dan mengelabui masyarakat yang lebih kritis dan vokal, yang mungkin menentang atau tidak setuju dengan pungutan liar tersebut.
Hasilnya, kelompok masyarakat yang sebenarnya ingin berbicara atau melawan pungli kerap kali terintimidasi oleh “kesepakatan” palsu yang didorong oleh pihak-pihak ini.
Peran Aparat dan Keterlibatan
Idealnya, aparat desa seperti Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) dan Babinsa (Bintara Pembina Desa) memiliki tanggung jawab untuk melindungi masyarakat dari praktik pungli. Namun, tidak jarang ditemukan kasus di mana oknum aparat ini justru ikut mengamankan praktik pungli dengan alasan menjaga stabilitas atau ketertiban desa.
Alih-alih menjadi pengawas yang membantu masyarakat menolak pungli, mereka justru berperan dalam mempertahankan budaya pungli dengan alasan “asal disepakati.”
Contoh kasus ini pernah terjadi di beberapa daerah, di mana Bhabinkamtibmas dan Babinsa diduga tidak hanya mengetahui pungli di desa, tetapi juga membiarkan, bahkan mendukungnya, dan malah ikut ambil bagian. Kondisi ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara tugas dan perilaku aparat, yang seharusnya menjaga keadilan dan melindungi masyarakat dari pungutan yang memberatkan.
Tantangan dalam Memberantas Budaya Pungli
Memberantas pungli bukanlah tugas yang mudah, terutama jika ada oknum aparat yang justru mendukung atau “menghalalkan” pungli tersebut. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam memberantas pungli, khususnya di tingkat desa, antara lain:
- Mentalitas Birokrasi yang Kuat
Pada level birokrasi desa, ada kecenderungan untuk menganggap praktik pungli sebagai hal yang wajar atau bahkan “hak” yang sudah lama berlangsung. Budaya ini sulit dihilangkan tanpa adanya penegakan hukum yang tegas. - Kurangnya Kesadaran Hukum:
Banyak masyarakat yang tidak sepenuhnya memahami bahwa mereka berhak mendapatkan pelayanan publik tanpa pungutan. Hal ini dimanfaatkan oleh oknum aparat untuk melakukan pungli dengan cara yang lebih halus, misalnya melalui istilah “uang sukarela”, “ucapan terima kasih”, yang diminta dengan paksaan “seridonya”. - Minimnya Pengawasan di Tingkat Desa
Di banyak desa, pengawasan atas praktik birokrasi masih lemah, sehingga pungli sering kali berlangsung tanpa adanya kontrol dari instansi terkait atau pemerintah pusat. - Keterlibatan Oknum Aparat
Adanya indikasi bahwa Bhabinkamtibmas atau Babinsa terlibat dalam mengamankan praktik pungli menunjukkan kompleksitas masalah. Hal ini membutuhkan pengawasan lebih ketat dari pihak berwenang.
Dampak Negatif Budaya “Asal Disepakati” bagi Masyarakat
Budaya pungli yang dihalalkan dengan “kesepakatan” ini memiliki dampak buruk jangka panjang bagi masyarakat, antara lain:
Membebani Masyarakat Ekonomi Rendah
Pungli menghambat masyarakat berpenghasilan rendah dalam mengakses pelayanan dasar, karena mereka harus mengeluarkan uang tambahan di luar biaya resmi.
Mengurangi Kepercayaan pada Aparat Desa
Jika aparat desa yang seharusnya menjaga ketertiban justru terlibat dalam pungli, kepercayaan masyarakat akan menurun. Masyarakat mungkin akan semakin enggan bekerja sama dalam program pemerintah yang sebenarnya bermanfaat.
Membiarkan Korupsi Berlangsung di Akar Rumput
Pungli merupakan bentuk korupsi yang terjadi di tingkat dasar. Jika dibiarkan, hal ini bisa berdampak pada mentalitas korupsi yang terus berakar di masyarakat, sehingga sulit diberantas di tingkat yang lebih tinggi.
Upaya dan Langkah untuk Mengatasi Masalah
Untuk mengatasi masalah pungli, khususnya yang “dihalalkan” dengan alasan “kesepakatan,” diperlukan langkah-langkah konkret dan sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan:
- Sosialisasi dan Edukasi Hukum
Masyarakat perlu lebih memahami hak-hak mereka dalam memperoleh pelayanan publik tanpa pungutan liar. Pemerintah bersama aparat desa sebaiknya rutin melakukan sosialisasi, termasuk mengenai peran dan fungsi Saber Pungli. - Pengawasan yang Lebih Ketat
Pengawasan terhadap praktik pungli di tingkat desa harus diperkuat. Pemerintah dapat melibatkan lembaga pengawas seperti Inspektorat Daerah atau Ombudsman untuk memantau aktivitas di lapangan. - Pemberdayaan Masyarakat untuk Berani Melapor
Masyarakat harus didorong untuk berani melaporkan jika menemukan praktik pungli. Melalui platform seperti Saber Pungli, masyarakat bisa melapor secara anonim untuk meminimalisir intimidasi dari oknum aparat. - Tindakan Tegas Terhadap Oknum yang Terlibat
Jika ada aparat yang terbukti terlibat dalam pungli, mereka harus dikenakan sanksi sesuai hukum. Penegakan hukum yang tegas akan menjadi contoh bagi aparat lain agar tidak melakukan penyimpangan. - Pelatihan Etika dan Integritas bagi Aparat Desa
Aparat desa perlu mendapatkan pelatihan khusus mengenai etika dan integritas dalam pelayanan publik, agar mereka paham betul tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan tanpa pungutan tambahan.
Budaya pungli yang dihalalkan “asal disepakati” mencerminkan tantangan besar dalam memperbaiki tata kelola dan integritas di tingkat desa. Aparat desa, termasuk Bhabinkamtibmas dan Babinsa, seharusnya menjadi pelindung dan pengayom masyarakat dari praktik-praktik yang merugikan.
Dengan komitmen bersama, pemberantasan pungli dapat dijalankan lebih efektif dan kepercayaan masyarakat pada birokrasi desa dapat dipulihkan.
