Usulan penempatan Polri di bawah Kemendagri mengundang reaksi keras dari berbagai pihak. Langkah ini dianggap melanggar prinsip independensi institusional yang selama ini dijaga. Namun, jika Polri harus berada pada kementerian tertentu, bagaimana jika kementerian tersebut adalah Kementerian Pariwisata? Setidaknya, dengan itu, kita bisa berandai-andai patroli polisi juga mencakup promosi destinasi wisata lokal.
Di sisi serius, perubahan struktur ini menimbulkan pertanyaan besar. Sebagai alat negara yang konstitusi atur langsung, Polri menjalankan peran vital dalam menjaga keamanan dan menegakkan hukum. Jika Polri berada pada kementerian, baik Kemendagri maupun kementerian lainnya, risiko pengurangan independensinya meningkat. Sebuah Polri yang tidak lagi netral akan menjadi masalah besar, terutama dalam mengelola potensi konflik, termasuk saat pemilu berlangsung.
Bayangkan saja, alih-alih fokus pada keamanan, Polri malah terjebak dalam birokrasi kementerian. Jangan sampai Polri sibuk mengurus “surat dinas” untuk patroli karena menunggu izin dari direktorat jenderal tertentu. Lebih parah lagi, jika penempatan ini malah membuat Polri menjadi alat untuk mengakomodasi kepentingan politik pihak tertentu.
Indonesia sudah melalui perjalanan panjang reformasi untuk memisahkan TNI dan Polri. Langkah itu bertujuan memastikan netralitas Polri dalam menjalankan tugasnya. Wacana ini justru terasa seperti langkah mundur dari amanat reformasi.
Secara sosial, masyarakat mengharapkan institusi bersikap transparan dan independen, bukan menjadi lembaga yang politisi kendalikan sebagai “boneka”. Begitu kepercayaan publik hilang, tugas Polri untuk melindungi dan mengayomi akan terasa seperti ironi yang menyakitkan.
Namun, mari kita anggap serius gagasan Polri di bawah Kementerian Pariwisata. Bayangkan polisi menjadi duta wisata: patroli di daerah rawan sekaligus mempromosikan budaya lokal. Polisi lalu lintas tak hanya menilang, tetapi juga membagikan brosur destinasi wisata terdekat. Bukankah itu lebih menyenangkan daripada hanya mendengar suara sirine?
Lelucon ini, tentu saja, tidak dimaksudkan untuk meremehkan institusi Polri. Justru, gagasan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga fungsi dan independensi Polri. Ketimbang berdebat soal kementerian mana yang paling tepat, lebih baik kita fokus memperkuat reformasi internal Polri agar lebih transparan dan profesional.
Dengan reformasi yang berlanjut, pengawasan independen dapat ditingkatkan. Kita perlu memastikan setiap anggota Polri memiliki integritas tinggi dan bekerja sesuai prinsip hukum, tanpa takut intervensi pihak manapun. Masyarakat mengharapkan Polri menunjukkan keandalan, bukan menjadi lembaga yang malah memicu kekhawatiran.
Pada akhirnya, alih-alih menempatkan Polri di bawah kementerian, biarkan Polri tetap di bawah presiden. Namun, jangan lupa, presiden juga memikul tanggung jawab untuk memastikan Polri menjalankan tugasnya dengan baik, tanpa menjadi alat politik.
Dengan begitu, Polri bisa terus fokus menjaga keamanan masyarakat dan menegakkan hukum. Dan siapa tahu, jika mereka memang sesekali mempromosikan pariwisata, itu hanya menjadi bagian kecil dari pekerjaan besar mereka. Setidaknya, masyarakat akan lebih senang dengan senyum polisi yang ramah ketimbang dengan wajah tegang yang hanya mencari kesalahan.