Jakarta – Ketegangan diplomatik antara Indonesia dan Amerika Serikat kembali mencuat, kali ini terkait kebijakan wajib sertifikasi halal di tanah air. Pemerintahan AS dianggap “cawe-cawe” atas aturan tersebut, memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan ekonomi syariah nasional.
Dalam diskusi publik tentang keuangan syariah di Jakarta, Kepala Center for Sharia Economic Development Indef, Nur Hidayah, menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tidak perlu melunak terhadap kritik yang datang dari Washington.
“Saya kira, posisi Indonesia tidak perlu melunak. Ini mencakup aspek religius, sosial, dan ekonomi yang fundamental,” ujar Nur, Sabtu (26/4/2025).
Nur menekankan bahwa sertifikasi halal bukan sekadar regulasi teknis perdagangan, melainkan kewajiban negara untuk melindungi hak konsumen berdasarkan kepercayaan agama.
Ia juga menambahkan bahwa Indonesia bisa tetap tegas sembari menawarkan opsi kerja sama terkait standardisasi halal kepada Amerika Serikat.
Lebih lanjut, Nur menyampaikan bahwa meski tata kelola sertifikasi halal di Indonesia masih menghadapi tantangan, seperti biaya sertifikasi yang tinggi dan keterbatasan sumber daya manusia, hal tersebut bukan alasan untuk melemahkan komitmen.
“Reformasi tata kelola bukan kompromi terhadap substansi halal. Harmonisasi standar halal internasional dan digitalisasi sistem perlu menjadi prioritas, terutama untuk mempercepat proses bagi investor strategis,” tuturnya.
Sementara itu, dalam laporan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), sertifikasi halal Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebut sebagai hambatan perdagangan.
Namun, pemerintah Indonesia melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa negosiasi dengan AS terkait tarif dan bea masuk masih berlangsung dinamis, dan belum ada keputusan final hingga saat ini.
“Kita dalam proses perundingan tentu apa yang ditawarkan dan apa respons ini masih dinamis jadi bukan posisi statis,” kata Airlangga, menegaskan posisi Indonesia tetap fleksibel dalam menyikapi dinamika perdagangan global.
Dengan begitu, suara dari kalangan akademisi dan ekonom syariah menegaskan pentingnya Indonesia menjaga kedaulatan regulasi produk halal, sambil terus memperbaiki sistem sertifikasinya demi mendukung perkembangan industri halal nasional.
