Kontroversi pengibaran bendera Israel oleh Merince Kogoya, finalis Miss Indonesia 2025 asal Papua Pegunungan, bukan sekadar persoalan simbol semata.
Dalam video yang viral, Merince terlihat menari sambil membawa bendera Israel, diiringi pesan keagamaan yang sarat makna spiritual. Namun, publik Indonesia, yang mayoritas mendukung perjuangan Palestina, menilai aksi itu sebagai bentuk dukungan terhadap Israel, negara yang dianggap menindas rakyat Palestina.
Fenomena ini langsung memicu gelombang kritik masif. Tagar #BoikotMissIndonesia sempat meramaikan lini masa media sosial, mendesak penyelenggara untuk bertindak tegas.
Akhirnya, Yayasan Miss Indonesia memutuskan mendepak Merince dari kompetisi, menegaskan posisi mereka yang berpihak pada nilai kemanusiaan dan solidaritas internasional.
Langkah cepat tersebut memunculkan pertanyaan mendasar: di mana batas kebebasan berpendapat dalam masyarakat demokratis seperti Indonesia? Apakah setiap ekspresi personal harus tunduk pada norma kolektif?
Kasus Merince menggambarkan realitas rumit hubungan politik global dan identitas nasional. Sejak era reformasi, Indonesia membanggakan diri sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi.
Namun, dalam praktiknya, kebebasan itu seringkali berbenturan dengan sensitivitas sosial, terutama jika menyangkut isu Palestina yang telah lama menjadi simbol solidaritas umat Muslim di Indonesia.
Menurut survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada awal 2025, 89% masyarakat Indonesia menyatakan mendukung penuh perjuangan Palestina.
Sebanyak 73% menilai Israel sebagai negara agresor yang tidak patut didukung dalam bentuk apa pun.
Angka ini menunjukkan betapa kuatnya opini publik yang kemudian memengaruhi kebijakan lembaga-lembaga nasional, termasuk ajang kecantikan sekalipun.
Pada titik ini, kita melihat bagaimana ruang publik di Indonesia kerap menjadi arena perdebatan identitas. Masyarakat menuntut agar figur publik selaras dengan aspirasi kolektif.
Dalam kasus Merince, identitas religiusnya sebagai pengikut Kristus yang memiliki keterikatan spiritual dengan Israel tidak mendapat ruang untuk dihargai sebagai hak privat.
Di sisi lain, keputusan Yayasan Miss Indonesia juga tidak bisa dipandang sepihak. Sebagai penyelenggara ajang nasional, mereka harus menjaga citra dan meminimalisasi potensi konflik sosial yang bisa merusak reputasi ajang tersebut.
Dalam konteks ekonomi, event seperti Miss Indonesia tidak hanya ajang hiburan, tetapi juga menggerakkan sponsor, pariwisata, hingga industri kreatif. Citra yang rusak bisa berdampak pada kerugian finansial yang besar.
Secara politis, pemerintah Indonesia selama ini tegas mendukung kemerdekaan Palestina. Hal ini tercermin dalam berbagai pidato resmi Presiden hingga sikap diplomasi di PBB.
Dalam pidato di KTT OKI 2024, Presiden Indonesia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka sepenuhnya.
Komitmen ini telah mengakar kuat dalam kebijakan luar negeri, sehingga apa pun yang dianggap mendukung Israel langsung dilabeli sebagai bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.
Persoalan ini juga menyingkap aspek hukum. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 menjamin kebebasan beragama dan berpendapat.
Namun, hukum nasional juga mengenal konsep “kepatutan” yang diatur dalam KUHP dan UU ITE. Artinya, kebebasan bukanlah kebebasan mutlak, tetapi tetap berada dalam kerangka norma sosial yang berlaku.
Budaya Indonesia yang sangat kental dengan nilai kebersamaan atau “gotong royong” juga memperkuat reaksi keras publik. Dalam budaya kolektif, tindakan personal yang dianggap menyinggung perasaan bersama akan memicu konsekuensi serius.
Budaya “rasa malu” (sense of shame) yang masih kuat membuat masyarakat sulit menerima perbedaan ekspresi yang ekstrem. Ironisnya, di era digital, fenomena “trial by social media” semakin memperparah situasi.
Keputusan terhadap Merince Kogoya diambil dalam waktu singkat, didorong tekanan warganet yang terus membesar. Dalam hal ini, media sosial berubah menjadi alat penghakiman massa, di mana logika rasional kerap dikalahkan oleh emosi kolektif.
Meski demikian, kasus Merince harus menjadi refleksi mendalam bagi semua pihak. Kebebasan berekspresi tetap harus dihargai, tetapi kesadaran akan konteks sosial dan politik juga tidak bisa diabaikan.
Figur publik, apalagi yang sedang berkompetisi di ajang nasional, perlu memahami bahwa setiap tindakan akan selalu berada dalam sorotan publik.
Penting untuk mengedepankan edukasi publik yang menekankan pentingnya literasi media dan toleransi terhadap perbedaan keyakinan.
Penyelenggara event juga perlu memiliki pedoman etik yang jelas dan tegas agar setiap peserta paham batasan dan tanggung jawab moral yang diemban.
Di tingkat pemerintah, perlu ada upaya memperkuat regulasi yang seimbang antara perlindungan kebebasan individu dan ketertiban umum. Misalnya, mekanisme evaluasi lebih mendalam sebelum menjatuhkan sanksi agar keputusan tidak sekadar menjadi respons spontan terhadap tekanan massa.
Bagi masyarakat, kasus ini harus menjadi pelajaran untuk lebih bijak dalam menanggapi isu-isu sensitif.
Mengedepankan diskusi rasional, bukan sekadar emosi atau sentimen sesaat, akan mencegah munculnya polarisasi yang makin merusak kohesi sosial bangsa.
Terakhir, bagi Merince Kogoya, perjalanan yang penuh tantangan ini semestinya menjadi refleksi berharga.
Bahwa niat baik pun bisa diterjemahkan berbeda oleh publik. Bahwa sebagai figur yang membawa nama daerah, bangsa, dan budaya, segala tindakan personal tak lagi bisa sepenuhnya bersifat privat.
Kasus Merince membuka mata kita tentang rapuhnya batas antara kebebasan personal dan tanggung jawab sosial.
Sebuah batas yang, jika tidak dijaga dengan bijak, bisa menjadi celah bagi perpecahan yang lebih dalam.
Sebagai media, kami menegaskan pentingnya dialog yang beradab dan berimbang dalam menyikapi isu-isu kebebasan berekspresi.
Bangsa ini hanya bisa maju jika setiap warganya memahami bahwa kebebasan tidak pernah lepas dari tanggung jawab.