Vonis atas nama keadilan terhadap Thomas Trikasih Lembong telah memicu gelombang pertanyaan keras dari publik. Bukan hanya karena ia mantan Menteri Perdagangan, tetapi karena ia juga dikenal sebagai sosok yang bersih, rasional, dan sering vokal terhadap praktik-praktik yang tidak sehat dalam birokrasi dan ekonomi nasional. Putusan 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta oleh Pengadilan Tipikor dalam kasus impor gula 2015–2016, menimbulkan kecurigaan besar: benarkah ini soal hukum, atau justru soal kekuasaan?
Tidak sedikit tokoh publik menyatakan kegelisahan mereka secara terbuka. Salah satunya adalah Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta. Anies menyebut bahwa vonis terhadap Tom Lembong “tidak sesuai dengan akal sehat dan rasa keadilan.” Pernyataan ini tidak bisa dianggap remeh. Sebab ketika persepsi publik terhadap integritas hukum mulai goyah, dampaknya tidak hanya pada satu perkara, melainkan pada legitimasi sistem hukum secara keseluruhan.
Fakta-fakta dalam kasus ini juga mengundang tanya. Majelis hakim menyebut kecenderungan Tom Lembong yang mendorong kebijakan ekonomi pasar sebagai “hal yang memberatkan”. Sebuah logika yang mencengangkan. Bukankah pilihan ekonomi terbuka adalah kebijakan sah pemerintah saat itu, di bawah rezim yang sah pula? Jika motif kebijakan dijadikan dasar kriminalisasi, maka siapa pun yang kelak menjadi pejabat publik bisa digiring ke penjara hanya karena membuat keputusan yang tak disukai penguasa berikutnya.
Ini adalah sinyal bahaya dalam demokrasi. Kekuasaan yudikatif seharusnya menjadi penyeimbang, bukan kepanjangan tangan politik. Tapi dalam kasus ini, nuansa politis tampak terlalu kentara. Apalagi vonis ini jatuh dalam atmosfer politik nasional yang tengah memanas, dengan mulai menguatnya faksi-faksi baru pasca pemilu 2024. Ada kesan bahwa aktor-aktor reformis dan rasional seperti Tom Lembong menjadi korban dari gelombang politik balas dendam yang dikemas dalam wajah penegakan hukum.
Dampaknya sangat luas. Bukan hanya Tom Lembong yang dirugikan, tapi juga pesan buruk yang dikirimkan kepada para birokrat dan profesional di pemerintahan. Mereka yang ingin mengambil keputusan berdasarkan data, integritas, dan keberanian intelektual bisa jadi berpikir ulang. Karena jika keputusan publik bisa ditarik menjadi kasus hukum bertahun-tahun kemudian, tanpa perlindungan politik, maka siapa yang akan berani mengambil risiko inovatif di kemudian hari?
Di sisi lain, integritas pengadilan kini berada di titik krusial. Banyak kalangan akademisi hukum, praktisi, hingga masyarakat sipil menilai vonis ini cacat logika dan cacat rasa keadilan. Apalagi dalam putusan tersebut, hakim juga menyampaikan bahwa “pemikiran ekonomi kapitalis” Tom Lembong bertentangan dengan kepentingan nasional. Sebuah argumen yang lebih menyerupai debat ideologi di ruang politik daripada pertimbangan hukum di ruang sidang.
Mengapa penting bagi kita untuk mengangkat isu ini? Karena kasus seperti ini bisa menjadi preseden buruk. Jika hakim mulai menjatuhkan vonis berdasarkan kecenderungan ideologi ekonomi seseorang, maka bukan hanya hukum yang rusak, tapi juga demokrasi. Sebab hukum bukan soal setuju atau tidak dengan pilihan kebijakan, tapi soal ada atau tidaknya niat jahat, korupsi nyata, dan kerugian negara yang terbukti kuat secara empiris dan akuntabel.
Lantas, bagaimana dengan bukti kerugian negara? Sampai vonis dijatuhkan, publik tidak pernah melihat kalkulasi kerugian negara yang rinci, transparan, dan dapat diuji. Sementara dalam banyak kasus korupsi yang lebih kasat mata, pelaku bisa bebas atau divonis ringan. Maka wajar jika publik curiga, bahwa keadilan di negeri ini sedang mengalami disorientasi akut.
Secara sosial, kasus ini memukul kepercayaan rakyat terhadap elite yang reformis. Tom Lembong adalah sosok yang sejak awal dikenal terbuka, transparan, dan tidak terikat pada oligarki. Ia pernah menjadi komisaris utama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), serta konsisten mendorong perbaikan iklim usaha. Ketika orang seperti ini dijatuhkan dengan konstruksi hukum yang lemah, maka sinyal yang muncul adalah: keberanian, integritas, dan reformasi tidak dihargai.
Dari aspek ekonomi, kriminalisasi kebijakan impor bisa menjadi bumerang. Investor akan membaca ini sebagai ketidakpastian hukum. Tidak ada jaminan bahwa keputusan bisnis, yang telah melalui proses resmi pemerintahan, tidak akan ditarik ke ranah pidana ketika rezim berganti. Ini membuat Indonesia kian jauh dari kepastian hukum yang dibutuhkan untuk pertumbuhan investasi berkelanjutan.
Di ranah budaya hukum, kita juga menghadapi krisis serius. Ketika akal sehat publik tidak lagi selaras dengan putusan pengadilan, maka legitimasi sosial sistem peradilan otomatis runtuh. Hukum tidak lagi menjadi cermin keadilan, tetapi menjadi alat kekuasaan. Hal ini sangat berbahaya bagi tatanan sosial, karena akan melahirkan sinisme kolektif terhadap institusi negara.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, dibutuhkan evaluasi total terhadap independensi dan kompetensi hakim dalam menangani perkara-perkara bernuansa kebijakan publik. Mekanisme seleksi dan pengawasan hakim harus diperkuat dengan pelibatan publik sipil dan pakar independen. Kedua, harus ada keberanian dari Mahkamah Agung untuk membenahi narasi hukum yang melenceng dari asas legalitas dan akal sehat publik.
Ketiga, langkah kasasi atau peninjauan kembali atas vonis Tom Lembong harus dikawal oleh publik. Ini bukan semata soal membela individu, tapi membela prinsip hukum yang sehat. Organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan tokoh bangsa perlu bersatu suara untuk memastikan bahwa kasus ini tidak menjadi preseden yang merusak sistem peradilan.
Dan keempat, reformasi hukum tidak bisa lagi ditunda. Pemerintah baru hasil Pemilu 2024 harus menjadikan reformasi peradilan sebagai prioritas nasional. Mulai dari penguatan Komisi Yudisial, hingga reformasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen, promosi, dan disiplin hakim.
Karena pada akhirnya, negara ini tidak akan runtuh karena satu atau dua putusan sesat. Tapi negara akan runtuh ketika keadilan tidak lagi dipercaya rakyat.