Indonesia sedang menghadapi krisis suara moral. Dahulu, akademisi dan aktivis hadir dari berbagai kampus, komunitas, dan organisasi sipil, memberi arah dan menyalurkan aspirasi rakyat. Kini, ruang itu terasa makin sempit. Nama-nama seperti Rismon, Roy Suryo, dan Tifa menjadi simbol bahwa hanya segelintir figur yang masih berani bersuara lantang.
Kondisi ini bukan semata soal keterbatasan jumlah tokoh, melainkan cerminan dari kemunduran budaya demokrasi. Aktivis banyak yang terkooptasi oleh kekuasaan, sementara akademisi lebih sibuk menjaga hubungan baik dengan pemerintah ketimbang mengawal kebenaran. Hasilnya, rakyat kehilangan keberagaman referensi moral yang seharusnya datang dari berbagai arah.
Secara politik, keadaan ini sangat berbahaya. Demokrasi hanya sehat bila kritik datang dari banyak pihak, bukan dari satu-dua figur yang terus diulang. Jika suara kritis hanya dimonopoli segelintir orang, maka kekuasaan akan mudah mengabaikan mereka. Pemerintah cukup meredam atau mendiskreditkan satu-dua tokoh, dan ruang oposisi moral otomatis lumpuh.
Dari sisi hukum, perlindungan bagi kebebasan berekspresi makin terasa rapuh. Akademisi yang kritis sering terancam kriminalisasi, sementara aktivis kerap berhadapan dengan pasal-pasal karet. Situasi ini membuat banyak orang memilih diam, padahal konstitusi jelas menjamin kebebasan berpendapat. Jika hukum gagal melindungi, maka demokrasi hanya tinggal nama.
Secara sosial, publik pun terjebak pada fenomena kultus figur. Rakyat menggantungkan harapan pada segelintir tokoh yang masih vokal. Padahal, gerakan sipil seharusnya bersifat kolektif, dibangun dari kesadaran banyak orang, bukan bergantung pada keberanian segelintir individu. Ketika tokoh itu diserang atau dilemahkan, rakyat kehilangan arah.
Ekonomi juga tidak bisa dilepaskan dari krisis suara moral. Kebijakan yang menyentuh hajat hidup rakyat sering diputuskan tanpa pengawasan publik yang memadai. Kritik terhadap anggaran DPR, proyek infrastruktur, atau investasi asing sering tenggelam karena minimnya akademisi dan aktivis yang konsisten bersuara. Akibatnya, kepentingan elit lebih dominan daripada kesejahteraan rakyat.
Budaya politik patronase ikut memperparah keadaan. Akademisi diundang ke lingkaran kekuasaan, diberi jabatan atau proyek, dan akhirnya kehilangan independensi. Aktivis dirangkul partai, masuk kabinet, atau terseret pragmatisme politik. Perlahan, ruang oposisi moral hilang. Yang tersisa hanya segelintir nama yang berani menjaga jarak.
Namun, bangsa ini tidak boleh puas hanya dengan segelintir suara. Peran intelektual dan aktivis terlalu penting untuk dibiarkan mati suri. Pemerintah harus menjamin kebebasan akademik, menghapus intimidasi terhadap aktivis, dan membuka ruang dialog kritis. Tanpa itu, rakyat akan terus kehilangan pemandu moral.
Dari sisi masyarakat sipil, regenerasi mutlak diperlukan. Kampus harus kembali menjadi pusat diskusi bebas, melahirkan intelektual baru yang berani berbeda. Komunitas sipil perlu membangun jaringan advokasi yang kuat, agar suara rakyat terorganisir dan tidak bergantung pada figur tunggal. Demokrasi sehat hanya mungkin jika banyak suara terlibat.
Prabowo sebagai presiden punya peran menentukan. Ia bisa memilih melanjutkan pola lama dengan membungkam kritik, atau sebaliknya, menunjukkan keberanian dengan merangkul suara kritis. Presiden yang bijak tidak takut dikritik, karena tahu kritik adalah vitamin demokrasi. Jika Prabowo berani membuka ruang, maka warisan politiknya akan lebih kuat daripada sekadar kekuasaan.
Masyarakat pun perlu lebih aktif. Jangan hanya jadi penonton atau pengidol figur tertentu. Rakyat harus mendukung gerakan sipil baru, memperluas ruang diskusi, dan melahirkan suara alternatif. Dengan begitu, demokrasi tidak hanya bergantung pada satu-dua tokoh, tetapi hidup di tengah kesadaran kolektif.
Sejarah selalu membuktikan pentingnya peran intelektual dan aktivis. Reformasi 1998 tidak lahir dari satu figur, melainkan dari keberanian ribuan mahasiswa dan aktivis yang bergerak bersama. Kini, ketika ruang publik sepi, kita harus belajar dari sejarah: membangun kembali kekuatan kolektif agar bangsa tidak jatuh ke dalam anarki atau oligarki.
Pada akhirnya, nama Rismon, Roy Suryo, dan Tifa hanyalah simbol dari keterbatasan suara yang tersisa. Mereka bisa lantang, tetapi bangsa ini butuh lebih dari itu. Kita butuh ratusan akademisi kritis, ribuan aktivis konsisten, dan jutaan rakyat yang sadar politik. Tanpa itu, demokrasi akan kehilangan daya, dan bangsa terjebak dalam kegelapan moral.
Sebagai media, kami menegaskan bahwa suara moral tidak boleh hanya bergantung pada segelintir orang. Bangsa ini harus membangkitkan kembali semangat kolektif akademisi dan aktivis. Jika tidak, maka rakyat akan terus kehilangan arah, dan ruang demokrasi akan makin menyempit.