Warga Papua kembali merasa ditinggalkan. Tapi kali ini bukan oleh pendatang asing. Melainkan oleh salah satu dari mereka sendiri: Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Saat ia datang ke Pulau Gag, Raja Ampat—lokasi tambang nikel yang kini jadi sorotan—harapannya sederhana: ia akan berpihak pada rakyat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.
Alih-alih mengecam eksploitasi, ia mengeluarkan narasi “pengecekan teknis” dan menyerahkan semua kepada tim inspektur tambang. Retorika aman. Tapi tak ada yang benar-benar aman bagi masyarakat Papua saat tambang datang.
Bahlil adalah representasi dilema besar dalam politik identitas: ketika orang dari kelompok tertindas dipakai untuk menenangkan kelompoknya sendiri. Ini bukan isu teknis. Ini tragedi politik.
Dalam sejarah kolonial, penjajah memakai elite lokal untuk menguasai rakyatnya. Hari ini, praktik itu hidup kembali dalam wujud yang lebih canggih. Penuh jargon pembangunan, tapi substansinya tetap: penguasaan atas tanah dan kekayaan oleh segelintir pihak.
Sebagai putra Papua pertama yang duduk di kabinet, Bahlil mestinya menjadi jembatan keadilan. Tapi kini ia lebih terlihat sebagai penghubung antara korporasi dan kekuasaan.
Tambang nikel di Pulau Gag hanyalah satu dari banyak kasus. Tapi ini penting. Karena di sinilah terlihat jelas bagaimana negara, melalui figur seperti Bahlil, menggunakan legitimasi lokal untuk memperpanjang agenda ekonomi yang menyisakan luka sosial dan ekologis.
PT Gag Nikel—anak usaha Antam—beroperasi di atas lahan 13.000 hektar. Kawasan ini bagian dari wilayah konservasi dunia. Izin operasinya dilegalkan lewat Perpres 41 Tahun 2004, yang mengizinkan tambang di kawasan hutan.
Apa yang terdengar teknokratis ini, bagi warga, berarti hilangnya ruang hidup. Laut yang keruh. Hutan yang rusak. Dan masa depan yang dirampas.
Warga tak diam. Protes muncul. Kritik menguat. Tapi suara mereka kerap dituduh menghambat pembangunan. Bahkan ketika kritik datang dari masyarakat adat sendiri.
Ironinya, saat menteri berdarah Papua hadir, yang dibawa justru bukan pembelaan. Tapi pembenaran. Inilah wajah baru penjajahan: tak lagi oleh bangsa asing, tapi oleh sistem yang menjadikan darah sendiri sebagai alat legitimasi.
Dalam bahasa sosiologi, ini disebut “komprador”: elite lokal yang melayani kepentingan luar. Dalam konteks Papua, ini bukan teori. Ini kenyataan yang mereka hadapi sejak era Freeport hingga hari ini.
Banyak orang Papua bangga ketika Bahlil naik ke panggung kekuasaan. Tapi kebanggaan itu hari ini berbenturan dengan rasa kecewa. Mereka yang dulu dielu-elukan sebagai harapan, kini hadir sebagai bagian dari persoalan.
Dampaknya lebih dari sekadar politik. Ia membelah solidaritas. Masyarakat lokal terpecah: antara yang mendukung tambang karena pekerjaan, dan yang menolak karena kehilangan tanah.
Persaudaraan dirusak oleh perbedaan sikap terhadap tambang. Identitas dipertaruhkan di tengah konflik yang seharusnya tak perlu terjadi.
Sementara itu, pemerintah pusat terus menjual narasi hilirisasi. Indonesia disebut calon “raja nikel dunia”. Tapi tak ada kejelasan siapa yang diuntungkan.
Kontribusi nikel terhadap PDB nasional tak sampai 1 persen. Yang besar justru kerusakan ekologis, konflik sosial, dan perasaan dikhianati oleh negara.
Skema perizinan pun tak adil. Masyarakat adat tak punya suara. Semua ditentukan dari pusat. Bahkan ketika izin tambang masuk ke kawasan konservasi.
Dalam sistem seperti ini, hukum hanya alat. UU Minerba, Perpres 41/2004, dan regulasi lainnya memberi ruang legal bagi eksploitasi. Tapi tak memberi perlindungan bagi masyarakat yang terdampak.
Apa yang bisa dilakukan?
Pertama, publik harus menuntut pertanggungjawaban moral. Bukan hanya dari perusahaan. Tapi juga dari para pemimpin daerah asal, termasuk Bahlil.
Jabatan publik bukan sekadar prestasi pribadi. Tapi amanah untuk membela rakyat, terutama yang lemah dan terpinggirkan.
Kedua, Perpres 41/2004 harus dicabut. Tak masuk akal ada tambang di kawasan hutan konservasi, apalagi di wilayah seluas Raja Ampat yang menjadi ekosistem laut kelas dunia.
Ketiga, warga lokal harus punya hak veto. Tanpa persetujuan mereka, tak boleh ada satu pun proyek ekstraktif berjalan. Prinsip ini sesuai dengan hukum internasional dan semangat konstitusi.
Keempat, narasi tanding harus dibangun. Media, akademisi, dan LSM harus memperkuat suara rakyat. Jangan biarkan propaganda hilirisasi menutupi penderitaan masyarakat.
Kelima, sudah waktunya bicara soal model pembangunan baru. Bukan lagi eksploitasi. Tapi investasi yang berbasis keberlanjutan, pariwisata, budaya, dan ekonomi lokal.
Papua tak butuh tambang untuk sejahtera. Mereka butuh hak atas tanahnya, airnya, dan masa depannya.
Dan yang terpenting: mereka butuh pemimpin yang membela mereka. Bukan yang datang membawa restu tambang.