Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Bahlil dan Wajah Baru Penjajahan

Ketika yang diharapkan membela justru membungkam, maka yang tertindas kehilangan tempat berkeluh.
Udex MundzirUdex Mundzir7 Juni 2025 Editorial
Pulau Gag, Raja Ampat—lokasi tambang nikel
Lokasi tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Warga Papua kembali merasa ditinggalkan. Tapi kali ini bukan oleh pendatang asing. Melainkan oleh salah satu dari mereka sendiri: Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Saat ia datang ke Pulau Gag, Raja Ampat—lokasi tambang nikel yang kini jadi sorotan—harapannya sederhana: ia akan berpihak pada rakyat. Tapi yang terjadi justru sebaliknya.

Alih-alih mengecam eksploitasi, ia mengeluarkan narasi “pengecekan teknis” dan menyerahkan semua kepada tim inspektur tambang. Retorika aman. Tapi tak ada yang benar-benar aman bagi masyarakat Papua saat tambang datang.

Bahlil adalah representasi dilema besar dalam politik identitas: ketika orang dari kelompok tertindas dipakai untuk menenangkan kelompoknya sendiri. Ini bukan isu teknis. Ini tragedi politik.

Dalam sejarah kolonial, penjajah memakai elite lokal untuk menguasai rakyatnya. Hari ini, praktik itu hidup kembali dalam wujud yang lebih canggih. Penuh jargon pembangunan, tapi substansinya tetap: penguasaan atas tanah dan kekayaan oleh segelintir pihak.

Sebagai putra Papua pertama yang duduk di kabinet, Bahlil mestinya menjadi jembatan keadilan. Tapi kini ia lebih terlihat sebagai penghubung antara korporasi dan kekuasaan.

Tambang nikel di Pulau Gag hanyalah satu dari banyak kasus. Tapi ini penting. Karena di sinilah terlihat jelas bagaimana negara, melalui figur seperti Bahlil, menggunakan legitimasi lokal untuk memperpanjang agenda ekonomi yang menyisakan luka sosial dan ekologis.

PT Gag Nikel—anak usaha Antam—beroperasi di atas lahan 13.000 hektar. Kawasan ini bagian dari wilayah konservasi dunia. Izin operasinya dilegalkan lewat Perpres 41 Tahun 2004, yang mengizinkan tambang di kawasan hutan.

Apa yang terdengar teknokratis ini, bagi warga, berarti hilangnya ruang hidup. Laut yang keruh. Hutan yang rusak. Dan masa depan yang dirampas.

Warga tak diam. Protes muncul. Kritik menguat. Tapi suara mereka kerap dituduh menghambat pembangunan. Bahkan ketika kritik datang dari masyarakat adat sendiri.

Ironinya, saat menteri berdarah Papua hadir, yang dibawa justru bukan pembelaan. Tapi pembenaran. Inilah wajah baru penjajahan: tak lagi oleh bangsa asing, tapi oleh sistem yang menjadikan darah sendiri sebagai alat legitimasi.

Dalam bahasa sosiologi, ini disebut “komprador”: elite lokal yang melayani kepentingan luar. Dalam konteks Papua, ini bukan teori. Ini kenyataan yang mereka hadapi sejak era Freeport hingga hari ini.

Banyak orang Papua bangga ketika Bahlil naik ke panggung kekuasaan. Tapi kebanggaan itu hari ini berbenturan dengan rasa kecewa. Mereka yang dulu dielu-elukan sebagai harapan, kini hadir sebagai bagian dari persoalan.

Dampaknya lebih dari sekadar politik. Ia membelah solidaritas. Masyarakat lokal terpecah: antara yang mendukung tambang karena pekerjaan, dan yang menolak karena kehilangan tanah.

Persaudaraan dirusak oleh perbedaan sikap terhadap tambang. Identitas dipertaruhkan di tengah konflik yang seharusnya tak perlu terjadi.

Sementara itu, pemerintah pusat terus menjual narasi hilirisasi. Indonesia disebut calon “raja nikel dunia”. Tapi tak ada kejelasan siapa yang diuntungkan.

Kontribusi nikel terhadap PDB nasional tak sampai 1 persen. Yang besar justru kerusakan ekologis, konflik sosial, dan perasaan dikhianati oleh negara.

Skema perizinan pun tak adil. Masyarakat adat tak punya suara. Semua ditentukan dari pusat. Bahkan ketika izin tambang masuk ke kawasan konservasi.

Dalam sistem seperti ini, hukum hanya alat. UU Minerba, Perpres 41/2004, dan regulasi lainnya memberi ruang legal bagi eksploitasi. Tapi tak memberi perlindungan bagi masyarakat yang terdampak.

Apa yang bisa dilakukan?

Pertama, publik harus menuntut pertanggungjawaban moral. Bukan hanya dari perusahaan. Tapi juga dari para pemimpin daerah asal, termasuk Bahlil.

Jabatan publik bukan sekadar prestasi pribadi. Tapi amanah untuk membela rakyat, terutama yang lemah dan terpinggirkan.

Kedua, Perpres 41/2004 harus dicabut. Tak masuk akal ada tambang di kawasan hutan konservasi, apalagi di wilayah seluas Raja Ampat yang menjadi ekosistem laut kelas dunia.

Ketiga, warga lokal harus punya hak veto. Tanpa persetujuan mereka, tak boleh ada satu pun proyek ekstraktif berjalan. Prinsip ini sesuai dengan hukum internasional dan semangat konstitusi.

Keempat, narasi tanding harus dibangun. Media, akademisi, dan LSM harus memperkuat suara rakyat. Jangan biarkan propaganda hilirisasi menutupi penderitaan masyarakat.

Kelima, sudah waktunya bicara soal model pembangunan baru. Bukan lagi eksploitasi. Tapi investasi yang berbasis keberlanjutan, pariwisata, budaya, dan ekonomi lokal.

Papua tak butuh tambang untuk sejahtera. Mereka butuh hak atas tanahnya, airnya, dan masa depannya.

Dan yang terpenting: mereka butuh pemimpin yang membela mereka. Bukan yang datang membawa restu tambang.

Bahlil Lahadalia Papua Eksploitasi Politik identitas Raja Ampat Tambang Nikel
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleDiskon Tarif Tol 20 Persen Diberlakukan Jasa Marga Selama Libur Iduladha
Next Article Petugas Imbau Lansia Tak Ikut Lempar Jumrah demi Keselamatan

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Bolehkah Menulis Nama di Batu Nisan Kuburan?

Islami Ericka

Pelanggan adalah Kunci Sukses Bisnis Anda

Bisnis Assyifa

Kenali Self-Love Language Kamu, Biar Lebih Sayang Diri Sendiri

Daily Tips Alfi Salamah

Prabowo dan Titiek Soeharto, Cinta Lama Bersemi Kembali?

Lifestyles Assyifa

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Travel Alfi Salamah
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.