Semakin kabur batas antara negara dan pemerintah, semakin besar pula risiko terjadinya kekeliruan berpikir publik. Dalam wacana bela negara, kerancuan ini menjadi serius ketika kritik terhadap kebijakan pemerintah dianggap sebagai bentuk anti-nasionalisme. Padahal, cinta tanah air tak selalu berarti tunduk pada kuasa penguasa.
Pada Maret 2025, revisi UU TNI resmi disahkan. Revisi ini membuka jalan bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan sipil. Mulai dari Kementerian Pertanian hingga Kejaksaan, hampir semua lembaga kini terbuka untuk militer aktif. Ini langsung mengingatkan publik pada masa kelam dwifungsi ABRI. Gelombang protes pun tak terelakkan. Mahasiswa menggugat keras, bahkan sampai menggedor ruang sidang yang dialihkan ke hotel mewah, simbol betapa elit kekuasaan kini jauh dari rakyat.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah menerbitkan Inpres No. 1 Tahun 2025. Isinya: mengalihkan Rp306 triliun anggaran kementerian ke program makan siang gratis. Program populis ini dikritik keras oleh akademisi karena mengorbankan anggaran kesehatan dan pendidikan. Namun, alih-alih mendengarkan, kritik justru dibungkus sebagai “tidak mendukung pembangunan nasional.”
Bela negara tak lagi dipahami sebagai upaya kolektif menjaga republik dari ancaman, melainkan telah direduksi menjadi kewajiban loyalitas terhadap program-program negara—sekalipun tidak masuk akal. Bahkan, tagar viral seperti #KaburAjaDulu yang muncul Februari lalu menggambarkan kegelisahan generasi muda. Mereka bukan tidak cinta tanah air, tetapi kecewa karena tanah air seolah hanya memberi janji, bukan keadilan sosial.
Ironisnya, upaya bela negara dalam bentuk pelatihan ala militer juga diterapkan untuk siswa sekolah di Jawa Barat. Pemerintah daerah menyebut ini cara “mendisiplinkan” anak. Tetapi KPAI dan psikolog menilai pendekatan ini berlebihan dan bisa berujung pada trauma. Kritik terhadap pendekatan militeristik semacam ini tidak bisa serta merta dianggap sebagai pelecehan terhadap nasionalisme.
Fenomena ini menunjukkan gejala sistemik: semangat nasionalisme disalahartikan untuk memperkuat kekuasaan. Di lingkungan kampus, konsep bela negara masuk dalam skema Kampus Merdeka. Mahasiswa diposisikan sebagai objek, bukan subjek yang mampu berpikir kritis. Beberapa kampus mulai melarang diskusi politik dengan dalih menjaga stabilitas, padahal diskusi adalah jantung dari kehidupan akademik.
Masalah ini lebih dari sekadar salah kaprah. Ia adalah ancaman serius terhadap demokrasi. Ketika pemerintah mengidentikkan dirinya dengan negara, maka setiap kritik padanya akan dianggap penghianatan. Padahal, dalam sistem demokratis, kritik adalah bentuk tertinggi dari cinta tanah air. Mereka yang berani berbicara bukan pembelot, melainkan penjaga arah.
Secara hukum, UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat. Undang-undang bela negara tidak pernah mencantumkan larangan untuk mengkritik pemerintah. Cinta tanah air tidak dibatasi oleh kesetiaan terhadap penguasa, tapi oleh keberanian untuk menegur kekeliruan agar bangsa tetap berjalan di rel keadilan.
Penting bagi kita untuk memisahkan dua hal: membela negara dan membela pemerintah. Negara adalah entitas yang lebih besar, mencakup rakyat, budaya, alam, dan nilai-nilai luhur. Pemerintah adalah pengelola negara, yang kinerjanya boleh—dan harus—dikritik. Membungkam kritik demi stabilitas hanya akan membuat negara rapuh, bukan kuat.
Solusinya adalah membangun kesadaran kritis dan sistem pemerintahan yang transparan. Setiap kebijakan publik harus dilandasi oleh partisipasi rakyat, bukan sekadar keputusan elite. Program bela negara harus berbasis nilai sipil, bukan militeristik. Ruang publik harus tetap terbuka untuk diskusi, debat, dan perbedaan pendapat. Negara tidak akan runtuh karena kritik. Sebaliknya, ia akan bangkit jika semua anak bangsanya diberi ruang untuk bersuara.
Bela negara sejati bukan tentang membungkam kritik atau menghafal slogan nasionalisme. Ia adalah keberanian untuk berkata benar demi kebaikan bangsa. Ketika cinta tanah air disempitkan hanya menjadi dukungan terhadap pemerintah, maka demokrasi sedang dalam bahaya. Inilah saatnya kita berdiri, bukan membungkuk di hadapan kekuasaan yang salah arah.