Jakarta – PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) menilai industri telekomunikasi nasional akan semakin sehat dengan merampingnya jumlah operator seluler menjadi tiga pemain besar. Hal ini disampaikan menyusul semakin dekatnya proses merger antara PT XL Axiata Tbk. (EXCL) dan PT Smartfren Telecom Tbk. (FREN).
Direktur Utama Telkom, Ririek Adriansyah, menilai langkah konsolidasi ini dapat menciptakan persaingan yang lebih baik dan menguntungkan industri telekomunikasi secara keseluruhan. “Ini kan ada persaingan juga meskipun jumlahnya jadi tiga. Merger semoga baik untuk industri,” ujar Ririek pada Senin (16/12/2024).
Industri telekomunikasi selama ini menghadapi tekanan dari persaingan ketat antar-operator seluler, di mana empat pemain besar—Telkomsel, Indosat, XL Axiata, dan Smartfren—terus berlomba menarik pelanggan dengan berbagai promosi. Kondisi ini berdampak pada pendapatan operator yang tumbuh melandai, sementara mereka tetap dituntut untuk berinvestasi dalam pengembangan jaringan dan membayar biaya regulasi yang cukup tinggi.
Berdasarkan data, rasio biaya regulator terhadap pendapatan operator telekomunikasi di Indonesia telah menembus 12%, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang berkisar 5%-7%.
Meski demikian, merger ini menimbulkan kekhawatiran terkait potensi persaingan tidak sehat dan praktik oligopoli di industri. Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot, menilai pengurangan jumlah operator menjadi tiga harus diawasi dengan cermat. “Untuk menjaga persaingan tetap sehat, Kominfo perlu melibatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” ujar Sigit.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai dampak dari merger XL dan Smartfren. “Menkominfo harus memastikan PHK adalah pilihan terakhir dari proses ini. Jika terjadi PHK, maka karyawan harus mendapatkan golden handshake dan perlakuan yang adil,” tegasnya.
Heru juga menekankan pentingnya roadmap yang jelas pasca-merger untuk menjaga stabilitas industri dan memperhatikan nasib karyawan. “Nilai konsolidasi merger ini sangat besar, mencapai Rp104 triliun. Jika roadmap perusahaan tidak jelas dan karyawan dirugikan, sebaiknya pemerintah menunda persetujuan merger ini,” ungkapnya.
Merger XL Axiata dan Smartfren diyakini akan memperkuat posisi keduanya di pasar telekomunikasi Indonesia, namun tetap membutuhkan pengawasan agar proses ini tidak mengorbankan konsumen maupun pekerja. Dengan semakin merampingnya jumlah operator, diharapkan industri telekomunikasi bisa lebih efisien dan berkontribusi positif pada perkembangan ekonomi digital di Indonesia.
