Jakarta – Wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% atas transaksi elektronik, termasuk QRIS, menjadi perhatian publik. Meski pemerintah menegaskan bahwa pajak ini bukan aturan baru, penyesuaian tarif PPN menjadi sorotan karena potensi dampaknya terhadap transaksi digital.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa PPN dikenakan pada biaya layanan transaksi elektronik, bukan nilai transaksinya.
“Ini bukan objek pajak baru,” ujar Dwi, Jumat (20/12/2024).
Berikut adalah daftar biaya layanan transaksi elektronik yang dikenakan PPN:
- Biaya Layanan: Seperti pembayaran tagihan listrik, di mana PPN dihitung dari biaya administrasi.
- Komisi Jasa Perantara: Meliputi pembayaran untuk penyedia marketplace atau iklan online.
- Merchant Discount Rate (MDR): Biaya yang dikenakan kepada pedagang atas transaksi melalui QRIS, meskipun Bank Indonesia (BI) menggratiskan MDR untuk transaksi di bawah Rp500 ribu.
- Bunga dan Denda Pinjaman: Termasuk layanan paylater.
- Biaya Top-Up: Untuk saldo dompet elektronik atau pulsa.
Sebagai contoh, jika pengguna membayar tagihan listrik Rp500 ribu dengan biaya layanan Rp3.500, maka PPN dihitung dari Rp3.500, bukan Rp500 ribu.
Penyedia Layanan yang Memungut PPN
Penyedia layanan yang diwajibkan memungut PPN meliputi:
- Dompet elektronik
- Gerbang pembayaran
- Layanan transfer dana, termasuk teknologi blockchain
Namun, beberapa layanan transaksi elektronik terbebas dari PPN, seperti transfer dana dalam bank yang sama dan bonus loyalty point.
Meskipun penyesuaian tarif PPN ke 12% belum sepenuhnya diterapkan, wacana ini menimbulkan kekhawatiran dari pedagang dan pengguna jasa transaksi digital. Asosiasi e-commerce memperkirakan bahwa tarif baru ini dapat menekan margin pedagang kecil.
Di sisi lain, pemerintah berpendapat bahwa aturan ini akan meningkatkan penerimaan negara sekaligus mendorong transparansi dalam transaksi digital.
