Fenomena kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024 kembali mencuat, memperlihatkan sisi lemah sistem politik dan regulasi pemilu di Indonesia. Dalam banyak daerah, calon tunggal menjadi lawan dari opsi “kotak kosong,” sementara fenomena lain seperti “surat kaleng” menunjukkan ketidakpuasan publik terhadap proses pemilu. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang sejauh mana demokrasi di Indonesia dihargai dan dijalankan dengan adil.
Sejak Pilkada Makassar 2018 hingga perhelatan tahun ini, fenomena kotak kosong menunjukkan pola yang terus berulang. Misalnya, di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pasangan calon yang didiskualifikasi menyebabkan tidak ada lawan, bahkan kotak kosong, di surat suara. Kondisi ini mencerminkan kegagalan sistem pemilu dalam memastikan partisipasi politik yang sehat dan kompetitif.
Pada dasarnya, regulasi memungkinkan paslon tunggal maju dalam kontestasi pemilu. UU Nomor 10 Tahun 2016 menyebut partai politik dapat mencalonkan kandidat dengan memenuhi syarat minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah dalam pemilu sebelumnya.
Akibatnya, calon tunggal sering kali muncul akibat koalisi besar partai dan lemahnya oposisi. Dominasi politik ini, ditambah biaya tinggi untuk mencalonkan diri, semakin mempersempit ruang kompetisi.
Namun, kemenangan kotak kosong menunjukkan bahwa publik tidak selalu menerima calon tunggal begitu saja. Kekalahan calon tunggal dalam Pilkada 2018 di Makassar, misalnya, adalah bukti bahwa pemilih menuntut representasi yang lebih baik.
Hal serupa terjadi dalam Pilkada 2024, di mana protes masyarakat terlihat dalam bentuk “surat kaleng” yang menyuarakan kekecewaan terhadap calon yang dianggap tidak merepresentasikan kepentingan mereka.
Kemenangan kotak kosong seharusnya menjadi tamparan keras bagi pasangan calon yang kalah. Itu sekaligus memalukan bagi partai politik yang mengusung mereka. Kekalahan seperti ini mencerminkan penolakan rakyat terhadap calon yang dianggap tidak layak.
Paslon yang memaksakan diri bertarung meski sudah mendapat sinyal penolakan kuat dari masyarakat seharusnya merasa malu. Demikian pula, partai-partai pengusungnya perlu mengevaluasi langkah politik mereka yang lebih mengedepankan strategi dominasi dibanding keberpihakan pada kehendak rakyat.
Dalam Pilkada 2024, fenomena kotak kosong menang terjadi di beberapa daerah. Misalnya, di Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, kotak kosong meraih 57,25% suara, mengalahkan pasangan calon petahana yang hanya memperoleh 42,75% suara. Hal serupa terjadi di Kota Pangkalpinang, di mana kotak kosong unggul dengan 57,98% suara, sementara pasangan calon petahana memperoleh 41% suara. Kemenangan kotak kosong juga dilaporkan di beberapa kecamatan di Gresik, Jawa Timur.
Masalah ini menyoroti kegagalan penyelenggara pemilu dan regulasi yang ada. Proses diskualifikasi mendadak terhadap pasangan calon, seperti di Banjarbaru, menimbulkan ketidakpastian hukum dan mencederai demokrasi. Keputusan KPU untuk tetap menjalankan pemungutan suara tanpa opsi kotak kosong mengabaikan hak pilih warga yang seharusnya dilindungi.
Dari sisi sosial, fenomena ini mencerminkan rasa frustrasi masyarakat terhadap sistem politik. Ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu, partai politik, dan calon yang bertarung semakin memperparah apatisme politik. Ketika suara rakyat tidak dihargai, demokrasi kehilangan maknanya sebagai sarana ekspresi kehendak kolektif.
Dalam jangka panjang, solusi yang lebih struktural diperlukan untuk mencegah fenomena serupa terulang. Salah satu langkah penting adalah revisi regulasi pemilu yang lebih ketat dalam mengatur proses pencalonan dan mencegah dominasi politik oleh koalisi besar. Selain itu, transparansi dalam proses diskualifikasi calon harus dijamin untuk menghindari kecurigaan manipulasi.
Partisipasi politik masyarakat juga harus ditingkatkan melalui pendidikan pemilu yang masif. Pemilih yang sadar akan pentingnya hak pilih mereka akan menjadi kekuatan utama dalam menuntut perubahan sistem yang lebih inklusif dan adil.
Sebagai penutup, fenomena kotak kosong dan surat kaleng di Pilkada 2024 menjadi peringatan bagi semua pihak. Demokrasi bukan sekadar formalitas prosedural, melainkan harus mencerminkan keadilan dan keberpihakan pada rakyat. Jika sistem pemilu tidak segera diperbaiki, legitimasi demokrasi di Indonesia bisa semakin tergerus.