Close Menu
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel

Subscribe to Updates

Get the latest creative news from FooBar about art, design and business.

What's Hot

Curug Malela: Niagara Mini di Jantung Hutan Jawa Barat

Kyoto Kerek Tarif Wisata Demi Selamatkan Warisan Budaya

DPRD Kutim Desak Efisiensi Anggaran, Peringatkan Potensi Sanksi

Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp
Jumat, 14 November 2025
  • Advertorial
  • Rilis Berita
Facebook X (Twitter) Instagram WhatsApp YouTube
Onews.idOnews.id
  • Beranda
  • News
    • Nasional
    • Daerah
    • Figur
    • Info Haji
    • Rilis Berita
  • Info Haji 2025
  • Politik
  • Ekonomi
  • Saintek
  • Artikel
WhatsApp Channel
Onews.idOnews.id

Isu yang Dibelokkan, Aparat yang Gagal

Ketika panggung rakyat direbut elite, kemarahan berubah jadi alat politik, dan negara pun kehilangan wibawa.
Udex MundzirUdex Mundzir1 September 2025 Editorial
Halte TransJakarta dibakar oknum saat demonstrasi
Halte TransJakarta dibakar oknum saat demonstrasi (.inet)
Share
Facebook Twitter LinkedIn Pinterest WhatsApp Email

Akhir Agustus 2025, Jakarta bergejolak. Ribuan orang turun ke jalan, membawa amarah pada DPR, elite politik, dan simbol dinasti kekuasaan. Poster, spanduk, dan teriakan menuntut keadilan memenuhi Senayan. Namun, dalam beberapa hari, arah demonstrasi tiba-tiba berbelok.

Isu awal yang menyentuh akar persoalan—dugaan korupsi Presiden ke-7 Joko Widodo dan desakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka—perlahan menghilang. Tiba-tiba, fokus publik dipaksa bergeser ke urusan tunjangan DPR. Pergeseran mendadak ini bukan hanya janggal, tapi juga menandakan ada pihak yang sengaja memutar panggung politik.

Perubahan narasi ini terlalu cepat untuk disebut spontan. Hashtag #TolakTunjanganDPR mendadak viral, menenggelamkan tuntutan soal Jokowi dan Gibran. Selebaran digital berisi ajakan baru beredar luas, seolah menghapus seruan awal. Analisis percakapan di media sosial memperlihatkan pola serangan terkoordinasi, mirip rekayasa opini atau astroturfing.

Di lapangan, anomali makin jelas. Massa mahasiswa dan buruh berbaris dengan tuntutan jelas. Namun, yang dibakar justru halte TransJakarta, gerbang tol, hingga fasilitas MRT. Infrastruktur publik yang tidak ada kaitannya dengan DPR dijadikan sasaran. Pola ini klasik: rusak legitimasi gerakan dengan menampilkan demonstran seolah musuh rakyat sendiri.

Tragedi memperparah keadaan. Pada 28 Agustus, Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 20 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Affan bukan demonstran, ia hanya sedang mencari penumpang. Kematian itu meninggalkan luka mendalam, menjadi simbol betapa rakyat kecil selalu jadi korban dalam konflik elite.

Namun, tragedi ini pun dibajak. Relawan pro-Jokowi menggunakan momentum itu untuk menuding Presiden Prabowo gagal menjaga keamanan. Narasi pun berubah lagi: dari tuntutan soal Jokowi dan Gibran, menjadi framing bahwa Prabowo lemah dan tidak mampu mengendalikan aparat. Publik digiring menjauh dari isu korupsi dan dinasti politik, menuju stigma kegagalan presiden baru.

Kondisi ini tidak berdiri sendiri. Indonesia punya sejarah panjang pembelokan isu. Demo revisi UU KPK 2019 dialihkan ke narasi “ancaman stabilitas negara.” Demo Omnibus Law 2020 dipersempit jadi “kerusuhan anarkis.” Kini, Agustus 2025 menjadi panggung baru. Demokrasi kembali dipermainkan lewat sandiwara narasi.

Dari sisi keamanan, kegagalan aparat tidak bisa diabaikan. Kerusuhan justru pecah ketika massa damai sudah bubar. Tujuh halte dan tujuh gerbang tol terbakar hampir bersamaan. Pola ini jelas bukan spontan, tetapi Polri tetap lamban. Mereka baru bereaksi setelah kerusuhan terjadi, bukan mencegah sebelum ledakan.

Kegagalan ini membuat publik kehilangan kepercayaan pada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia dianggap abai membaca pola, gagal mengantisipasi provokator, dan terlalu sering mengulangi kesalahan. Permintaan maaf tidak cukup. Presiden Prabowo harus berani mencopot Kapolri, jika tidak ingin Polri terus dianggap alat kekuasaan yang tumpul melawan provokator.

Pencopotan Kapolri adalah sinyal penting. Bukan sekadar mengganti nama, tapi membuktikan bahwa negara berpihak pada rakyat, bukan pada elite. Polri harus direformasi total—dari pola intelijen yang gagal, hingga pendekatan represif yang justru melahirkan korban sipil. Tanpa langkah berani, luka publik akan semakin dalam.

Di saat yang sama, pemerintah juga harus memperbaiki komunikasi. Diam menghadapi isu korupsi Jokowi atau dinasti Gibran hanya membuat ruang kosong yang diisi provokator. Rakyat butuh penjelasan yang jujur, bukan pengalihan isu. Jika tidak, kabut hoaks dan framing digital akan terus mendominasi percakapan publik.

Media punya tanggung jawab besar. Media arus utama terlalu cepat menggaungkan narasi keamanan, sementara media sosial jadi medan perang hashtag. Tanpa verifikasi kritis, publik diseret dalam arus manipulasi. Demokrasi akhirnya dikerdilkan menjadi duel framing antarkubu politik, dengan rakyat sebagai penonton sekaligus korban.

Solusi mendesak harus dilakukan. Pertama, copot Kapolri dan bentuk strategi keamanan baru yang berorientasi melindungi rakyat. Kedua, lakukan investigasi independen dengan melibatkan Komnas HAM dan masyarakat sipil untuk mengungkap siapa provokator sebenarnya. Ketiga, hentikan operasi buzzer yang memecah belah. Keempat, kuatkan literasi publik agar masyarakat tidak mudah dijadikan pion.

Jika langkah ini tidak ditempuh, maka skenario serupa akan terus berulang. Setiap demonstrasi rakyat akan dibajak, setiap aspirasi akan dipelintir, dan setiap tragedi akan dijadikan bahan propaganda. Demokrasi hanya akan menjadi teater penuh asap, tempat elite beradu peran sementara rakyat menanggung derita.

Akhirnya, pertanyaan kunci muncul: akankah rakyat terus diperlakukan sebagai pion, atau berani merebut kembali narasi mereka sendiri? Presiden Prabowo harus memilih. Bertindak tegas demi rakyat, atau membiarkan dirinya ikut tenggelam dalam kabut manipulasi.

Demo Agustus 2025 Kapolri Listyo Sigit Pembelokan Isu Provokator Politik Reformasi Polri
Share. Facebook Pinterest LinkedIn WhatsApp Telegram Email
Previous ArticleRencana Bom Molotov di Samarinda Gagal Digagalkan Polisi
Next Article Selamat Tinggal Agustus Kelabu: Tinggalkan Joget-joget di Istana

Informasi lainnya

Menguji Gelar Pahlawan Soeharto

13 November 2025

Insentif MBG: Jangan Alihkan Beban

2 November 2025

Kehadiran Prabowo di Kongres Projo, Akan Menegaskan Dirinya “Termul”

1 November 2025

Sentralisasi Berkedok Nasionalisme

31 Oktober 2025

Siapa Kenyang dari Proyek Makan Bergizi?

27 Oktober 2025

Larangan Baju Bekas: Tegas Boleh, Serampangan Jangan

27 Oktober 2025
Paling Sering Dibaca

Musim Haji Penjualan Sarung Tenun Goyor di Jombang Meningkat

Islami Alfi Salamah

Pandemi Berlalu, Industri Film Indonesia Proyeksikan Pertumbuhan

Happy Ericka

Kenaikan Harga BBM dan Tantangan Ketahanan Energi

Editorial Udex Mundzir

DeepSeek AI: Alternatif AI Murah dari Cina yang Saingi ChatGPT

Techno Assyifa

Mengemudi Visi, Bukan Hanya Mobil Listrik

Opini Udex Mundzir
Berita Lainnya
Hukum
Alwi Ahmad20 September 2023

Antusias Siswa SMPN 3 Samarinda Ikuti Jaksa Masuk Sekolah

Fenomena Clipper, Profesi Baru yang Bikin Sarjana Geleng Kepala

Universitas Cipasung Tasikmalaya Cetak Guru Inovatif Lewat STEAM

Minat Masyarakat Positif, Okupansi Kereta Cepat Whoosh Stabil

APBD Kutim Turun Drastis, Pemkab Upayakan TPP ASN Tetap Aman

  • Facebook 920K
  • Twitter
  • Instagram
  • YouTube
“Landing
© 2021 - 2025 Onews.id by Dexpert, Inc.
PT Opsi Nota Ideal
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kode Etik
  • Kontak

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.