Akhir Agustus 2025, Jakarta bergejolak. Ribuan orang turun ke jalan, membawa amarah pada DPR, elite politik, dan simbol dinasti kekuasaan. Poster, spanduk, dan teriakan menuntut keadilan memenuhi Senayan. Namun, dalam beberapa hari, arah demonstrasi tiba-tiba berbelok.
Isu awal yang menyentuh akar persoalan—dugaan korupsi Presiden ke-7 Joko Widodo dan desakan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka—perlahan menghilang. Tiba-tiba, fokus publik dipaksa bergeser ke urusan tunjangan DPR. Pergeseran mendadak ini bukan hanya janggal, tapi juga menandakan ada pihak yang sengaja memutar panggung politik.
Perubahan narasi ini terlalu cepat untuk disebut spontan. Hashtag #TolakTunjanganDPR mendadak viral, menenggelamkan tuntutan soal Jokowi dan Gibran. Selebaran digital berisi ajakan baru beredar luas, seolah menghapus seruan awal. Analisis percakapan di media sosial memperlihatkan pola serangan terkoordinasi, mirip rekayasa opini atau astroturfing.
Di lapangan, anomali makin jelas. Massa mahasiswa dan buruh berbaris dengan tuntutan jelas. Namun, yang dibakar justru halte TransJakarta, gerbang tol, hingga fasilitas MRT. Infrastruktur publik yang tidak ada kaitannya dengan DPR dijadikan sasaran. Pola ini klasik: rusak legitimasi gerakan dengan menampilkan demonstran seolah musuh rakyat sendiri.
Tragedi memperparah keadaan. Pada 28 Agustus, Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 20 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob. Affan bukan demonstran, ia hanya sedang mencari penumpang. Kematian itu meninggalkan luka mendalam, menjadi simbol betapa rakyat kecil selalu jadi korban dalam konflik elite.
Namun, tragedi ini pun dibajak. Relawan pro-Jokowi menggunakan momentum itu untuk menuding Presiden Prabowo gagal menjaga keamanan. Narasi pun berubah lagi: dari tuntutan soal Jokowi dan Gibran, menjadi framing bahwa Prabowo lemah dan tidak mampu mengendalikan aparat. Publik digiring menjauh dari isu korupsi dan dinasti politik, menuju stigma kegagalan presiden baru.
Kondisi ini tidak berdiri sendiri. Indonesia punya sejarah panjang pembelokan isu. Demo revisi UU KPK 2019 dialihkan ke narasi “ancaman stabilitas negara.” Demo Omnibus Law 2020 dipersempit jadi “kerusuhan anarkis.” Kini, Agustus 2025 menjadi panggung baru. Demokrasi kembali dipermainkan lewat sandiwara narasi.
Dari sisi keamanan, kegagalan aparat tidak bisa diabaikan. Kerusuhan justru pecah ketika massa damai sudah bubar. Tujuh halte dan tujuh gerbang tol terbakar hampir bersamaan. Pola ini jelas bukan spontan, tetapi Polri tetap lamban. Mereka baru bereaksi setelah kerusuhan terjadi, bukan mencegah sebelum ledakan.
Kegagalan ini membuat publik kehilangan kepercayaan pada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia dianggap abai membaca pola, gagal mengantisipasi provokator, dan terlalu sering mengulangi kesalahan. Permintaan maaf tidak cukup. Presiden Prabowo harus berani mencopot Kapolri, jika tidak ingin Polri terus dianggap alat kekuasaan yang tumpul melawan provokator.
Pencopotan Kapolri adalah sinyal penting. Bukan sekadar mengganti nama, tapi membuktikan bahwa negara berpihak pada rakyat, bukan pada elite. Polri harus direformasi total—dari pola intelijen yang gagal, hingga pendekatan represif yang justru melahirkan korban sipil. Tanpa langkah berani, luka publik akan semakin dalam.
Di saat yang sama, pemerintah juga harus memperbaiki komunikasi. Diam menghadapi isu korupsi Jokowi atau dinasti Gibran hanya membuat ruang kosong yang diisi provokator. Rakyat butuh penjelasan yang jujur, bukan pengalihan isu. Jika tidak, kabut hoaks dan framing digital akan terus mendominasi percakapan publik.
Media punya tanggung jawab besar. Media arus utama terlalu cepat menggaungkan narasi keamanan, sementara media sosial jadi medan perang hashtag. Tanpa verifikasi kritis, publik diseret dalam arus manipulasi. Demokrasi akhirnya dikerdilkan menjadi duel framing antarkubu politik, dengan rakyat sebagai penonton sekaligus korban.
Solusi mendesak harus dilakukan. Pertama, copot Kapolri dan bentuk strategi keamanan baru yang berorientasi melindungi rakyat. Kedua, lakukan investigasi independen dengan melibatkan Komnas HAM dan masyarakat sipil untuk mengungkap siapa provokator sebenarnya. Ketiga, hentikan operasi buzzer yang memecah belah. Keempat, kuatkan literasi publik agar masyarakat tidak mudah dijadikan pion.
Jika langkah ini tidak ditempuh, maka skenario serupa akan terus berulang. Setiap demonstrasi rakyat akan dibajak, setiap aspirasi akan dipelintir, dan setiap tragedi akan dijadikan bahan propaganda. Demokrasi hanya akan menjadi teater penuh asap, tempat elite beradu peran sementara rakyat menanggung derita.
Akhirnya, pertanyaan kunci muncul: akankah rakyat terus diperlakukan sebagai pion, atau berani merebut kembali narasi mereka sendiri? Presiden Prabowo harus memilih. Bertindak tegas demi rakyat, atau membiarkan dirinya ikut tenggelam dalam kabut manipulasi.