Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang efektif mulai 1 Januari 2025 telah memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Pemerintah berargumen bahwa langkah ini diperlukan untuk menopang anggaran negara. Namun, dampaknya terhadap rumah tangga miskin, rentan, dan kelas menengah jelas tidak bisa diabaikan.
Berdasarkan riset dari Center of Economic and Law Studies (Celios), kenaikan PPN akan menyebabkan tambahan pengeluaran tahunan sebesar Rp 1,11 juta untuk kelompok miskin, Rp 1,84 juta untuk rentan miskin, dan Rp 4,25 juta untuk kelas menengah. Bagi mereka yang hidup dalam batas keseimbangan tipis antara kebutuhan pokok dan pengeluaran lainnya, kebijakan ini seperti pukulan telak yang memengaruhi daya beli dan kualitas hidup.
Celios menjelaskan bahwa dampak ini tidak hanya berupa angka. Rumah tangga miskin akan menghadapi tantangan lebih besar dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Pada kelompok rentan miskin, risiko terjerumus kembali ke jurang kemiskinan semakin nyata. Bahkan pada kelas menengah, yang sering kali dianggap lebih stabil, kenaikan ini akan menggerus pengeluaran untuk kebutuhan non esensial seperti hiburan dan investasi masa depan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa meskipun kenaikan hanya sebesar 1%, akumulasi dampaknya jauh lebih besar dari yang terlihat. Masyarakat, terutama yang berada di lapisan bawah, sering kali menjadi pihak yang paling rentan menghadapi inflasi harga akibat kebijakan seperti ini.
Politik dan ekonomi menjadi latar utama dinamika ini. Di satu sisi, pemerintah berusaha menjaga stabilitas fiskal di tengah tekanan ekonomi global. Namun, di sisi lain, alokasi anggaran yang tidak efisien dan lemahnya pengawasan sering kali membuat masyarakat mempertanyakan urgensi kenaikan PPN ini. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, program-program bantuan sosial sering kali dilanda isu korupsi dan ketidaktepatan sasaran.
Kebijakan fiskal seharusnya tidak hanya mempertimbangkan aspek penerimaan negara, tetapi juga dampaknya terhadap stabilitas sosial. Tanpa adanya jaring pengaman sosial yang memadai, kelompok miskin dan rentan menjadi pihak pertama yang menanggung beban. Kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN hanya akan memperlebar kesenjangan yang sudah ada.
Lalu, apa solusi yang dapat dilakukan? Pertama, pemerintah harus memperkuat program bantuan langsung tunai untuk kelompok miskin dan rentan miskin, guna mengompensasi kenaikan pengeluaran akibat PPN. Kedua, optimalisasi kebijakan pajak progresif perlu dipertimbangkan, sehingga kelompok berpenghasilan tinggi dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan tanpa memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran harus menjadi prioritas utama. Tanpa pengawasan yang ketat, dana hasil dari kebijakan fiskal seperti PPN hanya akan menjadi beban tambahan tanpa manfaat yang nyata bagi masyarakat luas.
Pajak adalah salah satu instrumen penting dalam membangun negara. Namun, kebijakan fiskal harus berjalan beriringan dengan upaya menciptakan keadilan sosial. Ketika kebijakan ini justru memperberat kelompok yang paling lemah, ada risiko besar terhadap stabilitas sosial dan ekonomi jangka panjang.
Pada akhirnya, kebijakan yang berhasil adalah kebijakan yang tidak hanya memikirkan kebutuhan negara, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya.