Narasi kepuasan publik kembali diangkat dengan megah. Poster bergambar Prabowo dan Gibran menampilkan klaim: “78% publik puas terhadap kinerja 6 bulan pemerintahan.” Tidak dijelaskan siapa yang melakukan survei, bagaimana metodologinya, atau apa indikatornya. Tapi angka ini disebarluaskan sebagai narasi tunggal: rakyat bahagia, pemerintah sukses.
Padahal, publik tidak lupa. Pada 2018, Prabowo pernah menyatakan dengan tegas bahwa “survei itu tergantung siapa yang bayar.” Ucapan itu keluar sebagai bentuk kritik keras terhadap lembaga-lembaga survei yang dianggap menjadi alat pembentuk persepsi demi kepentingan politik lawan.
Kini, ketika posisi sudah berbalik, narasi yang sama justru dipakai untuk membentuk citra diri. Angka 78% diangkat tinggi-tinggi, diulang dalam grafis yang viral, dan dijadikan dasar pembenaran segala kebijakan. Ironis, sekaligus menyedihkan.
Yang lebih mengkhawatirkan, ini bukan sekadar perubahan sikap seorang tokoh. Ini adalah pola propaganda yang sudah terbukti berjalan selama satu dekade pemerintahan Jokowi. Sebuah pola yang kini sedang diwarisi dan diterapkan ulang oleh Prabowo-Gibran.
Selama 10 tahun terakhir, kita menyaksikan bagaimana pemerintahan Jokowi membentuk persepsi lebih daripada menghadirkan solusi. Kebijakan dikemas dengan acara meriah. Pencitraan dibangun lewat kunjungan mendadak, pakaian rakyat, humor sesaat, dan narasi keberhasilan yang tidak selalu relevan dengan kondisi rakyat.
Hal serupa kini mulai dilakukan oleh Prabowo-Gibran. Poster penuh angka, baliho penuh senyum, dan berita-berita manis tentang “kepuasan publik” mulai menggantikan perdebatan substansi dan dialog kebijakan. Apa yang dulu dikritik, kini diwarisi.
Lebih parah lagi, angka-angka itu tidak mencerminkan realitas di lapangan. Jumlah pemudik Lebaran 2025 turun drastis hampir 50 juta orang dibanding tahun lalu. Ini bukan hal sepele, karena momen mudik selama ini selalu menjadi indikator perputaran ekonomi nasional.
Data dari Kadin menyebutkan bahwa perputaran uang saat Ramadan dan Lebaran turun hingga Rp20 triliun dibanding 2024. Harga bahan pokok naik, sementara daya beli masyarakat terus merosot.
Pemutusan hubungan kerja juga makin marak, terutama di sektor manufaktur dan ritel. Sepanjang 2024, lebih dari 80.000 orang kehilangan pekerjaan. Sementara program bantuan sosial justru dipangkas hingga Rp28 triliun tahun ini.
Semua itu adalah fakta. Namun rakyat diminta percaya pada angka survei yang tidak jelas asal-usulnya. Sebuah strategi lama, dibungkus baru.
Maka kita harus bertanya: apakah Prabowo-Gibran sedang membangun pemerintahan, atau hanya melanjutkan warisan pencitraan Jokowi? Apakah tujuan utama kekuasaan adalah menghadirkan keadilan, atau hanya memenangkan persepsi publik melalui manipulasi data?
Karena pada akhirnya, rakyat tidak hidup dari survei. Mereka hidup dari harga beras yang terjangkau, lapangan kerja yang layak, dan pelayanan publik yang manusiawi.
Jika pemerintah hanya mengejar kepuasan virtual, maka mereka sedang gagal memahami kebutuhan nyata rakyat. Jika mereka terus mengandalkan strategi gimmick dan propaganda, maka mereka bukan pemimpin perubahan, tapi hanya penguasa daur ulang.