Mundurnya Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN, Mohammed Ali Berawi, menandai babak baru ketidakpastian proyek taksi terbang di IKN. Proyek yang digadang-gadang sebagai simbol inovasi transportasi ini kini menghadapi realitas yang lebih keras: minim kesiapan infrastruktur, regulasi belum jelas, dan kepemimpinan yang goyah.
Sejak pertama kali diumumkan, proyek ini telah menuai pertanyaan besar. Bagaimana mungkin sebuah ibu kota yang bahkan belum memiliki infrastruktur dasar justru lebih dulu berbicara tentang taksi terbang?
Dengan segala keterbatasan yang masih membayangi pembangunan IKN, wacana taksi terbang lebih terasa sebagai gimmick politik ketimbang solusi mobilitas yang konkret.
Uji coba pada 2024 memang menunjukkan bahwa teknologi ini bukan sekadar konsep di atas kertas. Taksi terbang OPPAV dari Hyundai Motors Company (HMC) dan Korean Aerospace Research Institute (KARI) telah diuji di Samarinda.
Namun, fakta bahwa uji cobanya hanya berlangsung empat menit, di ketinggian 50–80 meter, dengan kecepatan 50 km/jam, sudah cukup menggambarkan bahwa perjalanan menuju operasional masih sangat panjang.
Proyek ini terkendala bukan hanya karena mundurnya sosok kunci, tetapi juga karena ketidaksiapan ekosistem yang seharusnya mendukungnya.
Hingga kini, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) belum memberikan izin, sementara Asosiasi Penerbangan Internasional (IATA) juga belum merekomendasikan penggunaannya untuk operasi komersial.
Regulasi yang belum matang membuat taksi terbang berada dalam zona abu-abu hukum, yang berisiko membuat proyek ini mangkrak tanpa kepastian arah.
Di sisi lain, kondisi IKN sendiri masih jauh dari kata siap. Pembangunan dasar seperti air bersih, listrik stabil, dan sistem transportasi darat saja masih belum rampung. Jika proyek-proyek fundamental saja belum selesai, bagaimana mungkin pemerintah sudah berencana membangun sistem transportasi udara yang jauh lebih kompleks?
Taksi terbang bukan sekadar soal teknologi, tetapi juga soal komitmen anggaran, kesiapan ekosistem, dan kepastian hukum. Tanpa tiga hal tersebut, taksi terbang hanya akan menjadi proyek eksperimental yang tak pernah benar-benar lepas landas.
Bukan pertama kalinya Indonesia memiliki proyek ambisius yang berakhir tanpa hasil nyata. Proyek monorel Jakarta yang mangkrak selama bertahun-tahun adalah contoh klasik bagaimana kegagalan perencanaan bisa membuat inovasi besar hanya menjadi monumen kegagalan.
Dalam proyek IKN, pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu: jangan berjualan mimpi tanpa pondasi yang kokoh.
Jika pemerintah benar-benar serius dengan taksi terbang, maka yang harus diprioritaskan adalah pembangunan infrastruktur dasar dan regulasi yang jelas.
Jika tidak, proyek ini hanya akan menjadi sekadar maket indah yang dipamerkan di konferensi internasional, tetapi tak pernah benar-benar menjadi kenyataan.
Mundurnya Mohammed Ali Berawi seharusnya menjadi alarm bahwa proyek ini masih jauh dari matang. Tanpa kepemimpinan yang kuat dan strategi yang jelas, taksi terbang di IKN hanya akan menjadi bagian dari daftar panjang janji-janji besar yang tak pernah benar-benar terwujud.