Jakarta – Seperti bola salju yang menggelinding kian besar, utang pemerintah Indonesia terus bertambah dan kini menjadi sorotan tajam Bank Dunia.
Melalui laporan Macro Poverty Outlook per April 2025, lembaga keuangan global itu memproyeksikan rasio utang pemerintah Indonesia akan mencapai 40,1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dan tren ini diperkirakan terus naik.
Dalam laporannya, Bank Dunia memperkirakan rasio utang akan meningkat menjadi 40,8 persen pada 2026 dan 41,4 persen pada 2027. Angka ini melampaui rasio saat ini, yaitu 39,6 persen terhadap PDB, dengan total utang mencapai Rp8.909 triliun per Januari 2025.
Bank Dunia juga mencatat bahwa proyeksi ini lebih tinggi dari target yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, yang hanya mengincar rasio utang sebesar 39,15 persen pada 2025.
“Besarnya pengeluaran pemerintah untuk program prioritas baru berisiko meningkatkan defisit fiskal hingga 2,7 persen dari PDB,” tertulis dalam laporan tersebut.
Peningkatan defisit ini menjadi perhatian karena menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, defisit anggaran harus tetap di bawah 3 persen.
Jika batas ini terlampaui, pemerintah dinilai melanggar aturan, yang berpotensi menimbulkan risiko keuangan serius.
Untuk menutup defisit, pemerintah mengandalkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Meski batas maksimum rasio utang terhadap PDB di Indonesia ditetapkan 60 persen, tetap saja lonjakan di atas 40 persen menjadi beban berat, terutama terkait pembayaran bunga utang.
Tahun 2025 saja, pemerintah harus membayar utang jatuh tempo sekitar Rp800 triliun dan bunga utang sebesar Rp552 triliun. Jika digabung, jumlah tersebut mencapai Rp1.352 triliun, atau sekitar 37 persen dari total APBN 2025 yang sebesar Rp3.600 triliun.
Di sisi lain, penerimaan negara dari sektor pajak justru menunjukkan penurunan yang mengkhawatirkan. Data Kementerian Keuangan per Maret 2025 menunjukkan realisasi penerimaan pajak hanya Rp322,6 triliun, setara 14,7 persen dari target, dan turun 18,1 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Kondisi ini memperlihatkan tantangan ganda bagi pemerintah: kebutuhan belanja yang tinggi untuk mendukung program prioritas, serta penerimaan negara yang kurang optimal untuk menopang keuangan nasional.