Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah berjalan sejak awal 2025. Ia lahir dari janji kampanye politik yang disambut tepuk tangan, tetapi dijalankan dengan anggaran yang menguras APBN.
Pemerintah menganggarkan Rp71 triliun untuk tahun pertama. Target akhirnya mencapai 82,9 juta penerima. Hitung-hitungan kasar menunjukkan total kebutuhan bisa tembus Rp400 triliun hingga akhir periode. Ini bukan angka kecil. Ini setara dengan total belanja beberapa kementerian strategis jika digabungkan.
Di tengah itu semua, rakyat dipaksa menyesuaikan diri dengan kenaikan PPN jadi 12%. Semua barang dan jasa naik. Konsumsi rumah tangga melemah. UMKM makin kesulitan bertahan. Pajak yang dibayar rakyat digunakan untuk membiayai janji makan gratis—yang bahkan belum tentu mereka nikmati secara langsung.
Lalu muncul pertanyaan penting: negara ini sedang bantu siapa?
Anak-anak memang butuh gizi. Tapi bukan berarti negara harus menyuapi mereka satu per satu. Negara seharusnya memastikan orang tua bisa bekerja, bisa belanja di pasar, bisa memasak sendiri di dapur mereka. Masalahnya bukan di piring makan, tapi di penghasilan yang makin tak cukup.
Masyarakat tidak kekurangan pengetahuan soal gizi. Mereka tahu mana yang sehat. Tapi mereka tidak sanggup membelinya. Solusinya bukan kasih nasi kotak tiap hari, tapi perbaiki kondisi ekonomi mereka.
Hari ini, negara justru mengambil alih tanggung jawab orang tua, tapi gagal menjamin kualitas makanan yang layak. Di berbagai daerah, muncul kasus keracunan. Makanan basi. Tender tak transparan. Distribusi tak merata. Program ini bukan sekadar mahal, tapi juga berisiko gagal fungsi.
Kalau dihentikan sekarang, negara bisa menghemat ratusan triliun dalam lima tahun. Dana sebesar itu bisa dipakai membangun industri pangan, menyerap tenaga kerja, memperkuat BPJS, memperbaiki gizi ibu hamil, atau subsidi langsung untuk keluarga miskin yang benar-benar butuh.
Program MBG bukan solusi jangka panjang. Ini proyek besar yang penuh simbol dan pencitraan. Sebuah nazar politik yang terlalu mahal, terlalu sembrono. Sekali pun sudah dijalankan, tak ada salahnya dievaluasi. Kalau ternyata lebih banyak mudaratnya, berhentikan saja.
Bubur yang basi tidak harus dipaksakan dimakan, apalagi dibagi-bagikan ke seluruh negeri.
Kalau Presiden benar-benar peduli, hentikan beban ini sekarang juga. Perbaiki akarnya, bukan tambal sulam gejalanya.
Yang berjanji dulu ada di panggung kampanye. Tapi yang sekarang harus putar otak tiap hari untuk bayar kebutuhan hidup adalah rakyat biasa. Janjinya muluk, biayanya besar, dan hasilnya belum jelas.
Sudah cukup rakyat jadi korban ambisi politik. Yang janji boleh saja tersenyum, tapi yang pusing tetap rakyatnya.