Generasi muda terus memperkenalkan cara berpikir dan tren baru dalam masyarakat, yang didorong oleh perkembangan zaman dan melimpahnya informasi. Dengan akses mudah ke media sosial, mereka memiliki platform untuk mengekspresikan diri. Fenomena ini memiliki sisi positif dan negatif.
Pemanfaatan media sosial yang bijaksana memungkinkan kreativitas dan potensi penghasilan. Namun, jika disalahgunakan, dapat memicu perilaku yang sia-sia dan pamer.
Salah satu tren populer saat ini adalah mengikuti tren terkini, seperti tantangan tari di TikTok atau kunjungan ke tempat-tempat eksklusif. Namun, tren terbaru yang menonjol adalah gaya hidup “slow living”.
Slow living berasal dari gerakan “slow movement” yang pertama kali muncul sebagai tanggapan terhadap masuknya restoran cepat saji di Roma pada 1980-an. Gerakan “slow food” dipimpin oleh Carlo Petrini untuk memperjuangkan makanan tradisional dan berkelanjutan. Ini memicu gagasan hidup lambat yang meluas ke aspek-aspek lain kehidupan.
Konsep slow living menyoroti perlambatan dalam segala hal, dari pekerjaan hingga waktu bersantai. Meskipun awalnya diasosiasikan dengan pensiunan yang ingin menikmati masa tua dengan tenang, generasi muda juga tertarik dengan pemikiran ini, terutama dalam konteks kesehatan mental.
Tren slow living dapat kita lihat dalam berbagai bidang, seperti perjalanan, mode, desain, dan pola pikir. Namun, ada perdebatan apakah slow living hanya tren sementara atau solusi yang berkelanjutan.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa slow living memiliki dampak positif, terutama terkait dengan ekonomi hijau. Namun, ada risiko bahwa slow living jadi sebagai ajang pamer di media sosial, yang mengalihkan fokus dari inti pemikiran tersebut.
Yang penting adalah memilih apakah menerapkan slow living untuk pertumbuhan pribadi atau hanya mengikuti tren. Dalam konteks sosio-ekonomi saat ini, konsep slow living bisa menjadi solusi yang layak.
