Lagi-lagi, Pertamina menaikkan harga sejumlah BBM non-subsidi mulai 1 November 2024, termasuk produk populer seperti Pertamax Turbo, Pertamax Green 95, Dexlite, dan Pertamina DEX. Kebijakan ini diambil dengan mengikuti ketentuan terbaru Kementerian ESDM yang memperbarui formula perhitungan harga BBM berdasarkan harga minyak dunia, kurs dolar, dan beban operasional.
Kenaikan ini jelas berdampak pada masyarakat, mengingat BBM adalah kebutuhan yang tak terelakkan bagi sektor transportasi dan industri. Namun, di balik kebijakan ini, muncul pertanyaan yang semakin mengemuka: Bagaimana pemerintah menjamin ketahanan energi di tengah fluktuasi harga BBM yang terus terjadi?
Kenaikan harga BBM non-subsidi seperti Pertamax Turbo yang kini menjadi Rp13.500 per liter, atau Dexlite yang melonjak dari Rp12.700 menjadi Rp13.050 per liter, menambah beban biaya yang cukup signifikan bagi konsumen. Tidak hanya itu, kenaikan ini menciptakan ketimpangan antara harga BBM non-subsidi dan subsidi, mengingat harga Pertalite dan Solar bersubsidi tetap tidak berubah.
Pemerintah tampak menghadapi dilema antara menjaga daya beli masyarakat dengan mempertahankan ketahanan fiskal. Terlebih, menjaga stabilitas harga bahan bakar non-subsidi tanpa subsidi tambahan menjadi tantangan besar bagi pemerintah dalam menghadapi harga minyak global yang fluktuatif.
Kenaikan ini tidak hanya berdampak pada individu atau konsumen akhir, tetapi juga pada sektor industri dan transportasi yang mengandalkan BBM non-subsidi untuk operasional mereka. Biaya operasional yang meningkat berpotensi memicu inflasi, terutama pada harga barang dan jasa yang diangkut melalui transportasi darat.
Inflasi yang terjadi akibat kenaikan biaya transportasi, pada gilirannya, dapat memperburuk daya beli masyarakat yang sudah melemah. Dalam kondisi ekonomi yang masih dalam pemulihan, efek domino dari kenaikan harga BBM berpotensi menekan sektor-sektor yang paling rentan.
Pemerintah telah menyatakan niat untuk mencapai swasembada energi dalam jangka panjang, namun realisasi ini masih tampak jauh. Kenaikan harga BBM seolah menjadi pengingat bahwa ketergantungan pada impor minyak mentah tetap menjadi kelemahan yang serius bagi perekonomian Indonesia.
Walaupun pembangunan infrastruktur energi terbarukan telah digalakkan, misalnya dengan memperbanyak Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan peningkatan produksi biofuel, ketergantungan pada BBM fosil masih dominan.
Tanpa diversifikasi energi yang lebih agresif, tujuan swasembada energi akan sulit tercapai, terutama jika ketergantungan pada impor minyak mentah tidak dikurangi secara signifikan.
Solusi jangka pendek yang realistis adalah meningkatkan sinergi antara pemerintah dan Pertamina dalam upaya diversifikasi energi, terutama untuk sektor transportasi. Peningkatan fasilitas transportasi publik berbasis energi listrik perlu dipercepat, agar konsumsi BBM dapat ditekan.
Selain itu, pemberlakuan subsidi atau insentif bagi kendaraan listrik juga dapat menjadi salah satu cara mengurangi konsumsi BBM di sektor ritel. Pemerintah juga dapat mendorong program efisiensi energi di sektor industri, yang selama ini menjadi konsumen utama BBM non-subsidi.
Dalam jangka panjang, percepatan transisi ke energi terbarukan sangat krusial untuk meminimalisir dampak volatilitas harga minyak global terhadap perekonomian nasional. Pengembangan energi terbarukan, seperti biofuel berbasis kelapa sawit, perlu terus dikaji dan disempurnakan agar dapat diimplementasikan lebih luas tanpa mengorbankan lingkungan.
Selain itu, percepatan eksplorasi energi baru seperti hidrogen dan energi angin dapat dijadikan prioritas investasi jangka panjang bagi pemerintah. Investasi ini harus didukung kebijakan yang jelas dan insentif bagi sektor swasta agar turut terlibat aktif dalam mewujudkan kemandirian energi nasional.
Akhirnya, kenaikan harga BBM non-subsidi ini menggarisbawahi pentingnya peralihan dari bahan bakar fosil menuju energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pemerintah perlu memastikan agar setiap langkah dalam kebijakan energi mencerminkan visi yang kuat dan berorientasi pada keberlanjutan.
Penyesuaian harga BBM adalah realitas ekonomi yang tak terhindarkan, tetapi dengan perencanaan yang baik, Indonesia dapat mencapai kemandirian energi tanpa harus bergantung pada volatilitas pasar internasional.