Program makan bergizi gratis (MBG), sebuah inisiatif ambisius pemerintah untuk memberantas stunting dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak Indonesia, kini menghadapi tantangan yang tidak terduga. Alih-alih menjadi solusi bagi masyarakat, program ini tercoreng oleh ulah oknum kepala sekolah yang diduga mencari keuntungan pribadi.
Sebuah video yang viral di media sosial menampilkan praktik janggal, di mana kepala sekolah mewajibkan wali murid membeli wadah makan seharga Rp30 ribu per unit, dengan jumlah minimum dua unit per anak. Jika memiliki lebih dari satu anak di sekolah tersebut, beban finansial tentu berlipat. Walaupun video ini belum terverifikasi sepenuhnya, dampaknya sudah terasa, muncul keraguan terhadap integritas pelaksanaan program MBG.
Di sisi lain, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat BGN RI, Lalu Muhammad Iwan Mahardan, menegaskan bahwa program ini sepenuhnya gratis. Tidak ada pungutan atau biaya tambahan yang seharusnya dikenakan kepada wali murid. Pemerintah juga menggarisbawahi bahwa tujuan utama program ini adalah meringankan beban keluarga dan meningkatkan nutrisi anak-anak.
Namun, kasus seperti ini menunjukkan adanya celah dalam pengawasan pelaksanaan kebijakan. Meski program dirancang dengan prinsip aksesibilitas dan pemerataan, realisasinya di lapangan sering kali menemui kendala, termasuk tindakan penyimpangan oleh oknum tertentu.
Fenomena ini bukan kali pertama terjadi dalam pelaksanaan program sosial di Indonesia. Berdasarkan laporan dari Transparency International Indonesia (TII), penyimpangan anggaran dan pungutan liar kerap menjadi masalah dalam program bantuan sosial. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa 28% program bantuan sosial di Indonesia mengalami penyimpangan, mulai dari korupsi hingga distribusi yang tidak tepat sasaran.
Kritik terhadap pengawasan program sosial juga relevan dalam konteks ini. Ketika inisiatif sebesar MBG dirancang untuk memberdayakan anak-anak di seluruh pelosok negeri, pengawasan ketat dan transparansi menjadi syarat mutlak. Kurangnya kontrol terhadap pelaksana di lapangan berpotensi menghambat pencapaian tujuan utama program, bahkan merusak reputasi pemerintah.
Secara sosial, penyimpangan semacam ini menciptakan polarisasi. Di satu sisi, masyarakat yang menjadi korban merasa dirugikan dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah. Di sisi lain, pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab sering kali sulit dijerat secara hukum akibat lemahnya penegakan aturan.
Lalu, apa langkah yang dapat diambil untuk mencegah kejadian serupa di masa depan? Pertama, pemerintah perlu memperkuat sistem pengawasan berbasis digital. Pelacakan distribusi dan pelaporan program sosial dapat dilakukan secara real-time melalui aplikasi yang dirancang khusus untuk memastikan transparansi.
Kedua, penguatan lembaga pengawasan independen sangat penting. Lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus diberi wewenang lebih besar untuk mengawasi pelaksanaan program sosial, termasuk yang melibatkan dana pendidikan.
Ketiga, pemerintah perlu memastikan adanya saluran pengaduan publik yang efektif dan responsif. Warga yang merasa dirugikan oleh penyimpangan program harus memiliki akses mudah untuk melaporkan kejadian tanpa rasa takut akan intimidasi.
Keberhasilan program sosial seperti MBG tidak hanya bergantung pada niat baik pemerintah, tetapi juga pada pelaksanaannya yang bersih dari penyimpangan. Ketika satu celah kecil dibiarkan, dampaknya bisa menjadi besar, mencoreng kepercayaan masyarakat yang seharusnya menjadi tulang punggung keberlanjutan program.
Kita semua memiliki peran dalam memastikan program ini berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah, masyarakat, dan media harus bersinergi untuk menciptakan sistem yang lebih akuntabel. Hanya dengan cara ini, kita dapat menjaga integritas program sosial demi masa depan generasi penerus yang lebih baik.