Fenomena wartawan gadungan bukan sekadar anomali dalam dunia jurnalisme. Itu ancaman serius yang merusak fondasi utama profesi ini: integritas, kredibilitas, dan kepercayaan publik. Mereka bukan hanya menodai nama baik jurnalis sejati, tetapi juga mengaburkan batas antara pemberitaan yang objektif dan praktik yang penuh manipulasi demi kepentingan pribadi.
Di banyak daerah, mudah menemukan orang yang mengaku wartawan tanpa latar belakang jurnalisme yang memadai. Mereka datang bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mengejar keuntungan pribadi dengan memanfaatkan label “wartawan” sebagai tameng. Fenomena ini bukan masalah sepele, melainkan luka yang semakin dalam di wajah jurnalisme Indonesia.
Salah satu faktor yang memperparah situasi ini adalah rendahnya literasi media di kalangan pejabat publik, instansi, dan bahkan masyarakat umum. Banyak yang tidak memahami perbedaan antara jurnalis profesional yang mematuhi kode etik dan oknum yang hanya menggunakan identitas pers untuk kepentingan pribadi.
Akibatnya, pejabat publik sering kali melayani permintaan tidak etis dari mereka yang mengaku wartawan. Masyarakat pun kerap terjebak, mengira setiap orang yang membawa kartu pers adalah representasi kebenaran. Ketidaktahuan ini menciptakan ruang abu-abu di mana wartawan gadungan bebas bergerak tanpa hambatan.
Dalam beberapa lingkungan, budaya patronase memperburuk keadaan. Hubungan personal sering kali lebih dihargai daripada profesionalisme. Oknum wartawan gadungan memanfaatkan kedekatan informal dengan pejabat atau aparat untuk mendapatkan akses, proyek, atau bahkan uang.
Mereka tidak bekerja untuk mengungkap kebenaran atau melayani kepentingan publik, melainkan untuk “mengamankan posisi” mereka di lingkaran kekuasaan. Akibatnya, jurnalisme kehilangan peran kritisnya sebagai watchdog dan berubah menjadi alat negosiasi kepentingan.
Meskipun ada regulasi yang mengatur profesi jurnalis, penegakan hukumnya lemah. Aparat penegak hukum sering kali enggan bertindak tegas, bahkan dalam beberapa kasus justru menjadi bagian dari jejaring yang melindungi praktik-praktik tidak etis ini.
Banyak kasus intimidasi, pemerasan, atau pemanfaatan kartu pers palsu yang tidak ditindak secara serius. Ketidakadilan ini menciptakan ruang aman bagi para pelaku untuk terus beroperasi tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum.
Tak semua perusahaan media memiliki standar rekrutmen dan pelatihan yang ketat. Celah ini dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak kompeten untuk mengklaim diri sebagai wartawan.
Beberapa media bahkan merekrut siapa saja tanpa proses seleksi yang jelas, asalkan bisa “membawa berita” atau menghasilkan keuntungan dari relasi yang dibangun di lapangan. Akibatnya, kualitas jurnalisme merosot, dan ruang publik dipenuhi berita-berita dangkal tanpa verifikasi yang memadai.
Fenomena ini tidak bisa dibiarkan. Perlu ada langkah konkret untuk melawan arus ini. Edukasi publik tentang bagaimana membedakan jurnalis profesional dari yang gadungan sangat penting. Sosialisasi tentang kode etik jurnalistik harus diperluas, tidak hanya di kalangan media, tetapi juga di lingkungan pemerintahan, institusi pendidikan, dan masyarakat umum.
Organisasi jurnalis seperti PWI, PJS, AJI, dan IJTI harus lebih proaktif dalam memverifikasi anggotanya. Bukan hanya soal memiliki kartu anggota, tetapi juga memastikan setiap jurnalis bekerja sesuai kode etik. Organisasi ini harus menjadi garda terdepan dalam mengadvokasi penegakan disiplin di lapangan.
Harus ada kerja sama yang tegas antara organisasi jurnalis dan aparat penegak hukum untuk menindak tegas oknum yang mencemari profesi jurnalisme. Bukan hanya fokus pada pelaku di lapangan, tetapi juga menyasar jaringan yang melindungi mereka.
Pejabat publik perlu menerapkan prinsip transparansi dalam hubungan dengan media. Membuat mekanisme resmi untuk konferensi pers, sesi wawancara, dan interaksi dengan wartawan bisa mengurangi celah untuk praktik-praktik tidak etis.
Mendorong berkembangnya media independen berbasis jurnalisme data dan investigasi sangat penting. Media semacam ini lebih fokus pada kualitas liputan dibanding sekadar mengejar kedekatan personal dengan sumber daya politik atau ekonomi.
Wartawan sejati bekerja untuk kebenaran, bukan untuk kepentingan pribadi. Profesi ini harus kembali ke akar utamanya: melayani publik dengan informasi yang akurat, terverifikasi, dan bermakna.
Melawan fenomena wartawan gadungan bukan hanya tugas organisasi jurnalis atau aparat hukum, tetapi tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat. Setiap bentuk pembiaran hanya akan memperparah krisis kepercayaan terhadap media.
Jurnalisme adalah pilar demokrasi. Jika pilar ini rapuh karena praktik-praktik tidak etis, maka yang runtuh bukan hanya profesi wartawan, tetapi juga fondasi demokrasi itu sendiri.
