Ambisi akademik membawa para peneliti Indonesia berlari ke panggung global. Publikasi di jurnal internasional bereputasi telah menjadi standar keberhasilan, baik untuk kenaikan jabatan, pencairan dana penelitian, hingga gengsi intelektual. Namun, di balik euforia pencapaian itu, ada kenyataan pahit: riset lokal yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat kian kehilangan pamor.
Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat, 70 persen peneliti lebih memilih menerbitkan hasil risetnya di jurnal internasional. Di sisi lain, perhatian terhadap isu-isu lokal yang bersifat aplikatif dan menyentuh kebutuhan warga, seperti teknologi pertanian di desa terpencil atau penanggulangan pencemaran sungai di pedalaman, mulai terpinggirkan.
Seorang dosen di Jawa Timur, yang enggan disebut namanya, mengungkapkan bahwa struktur birokrasi akademik sendiri yang mendorong tren ini. Kenaikan jabatan fungsional dosen sangat bergantung pada publikasi internasional. Riset mengenai permasalahan lokal yang diterbitkan di jurnal nasional kerap dipandang sebelah mata.
“Ada tekanan yang sangat besar. Jika hanya menulis di jurnal nasional atau meneliti soal desa sekitar, nilainya kecil. Tapi kalau bisa tembus jurnal internasional, meskipun temanya jauh dari kebutuhan warga sekitar, itu lebih dihargai,” ujarnya.
Di Sumatera Barat, nasib serupa dialami seorang peneliti tanaman obat. Ia menemukan potensi besar dari tumbuhan khas daerahnya untuk kesehatan masyarakat. Namun, penelitian itu terhenti karena dianggap kurang menjual di mata jurnal internasional.
Fenomena ini memperlihatkan adanya kesenjangan yang semakin melebar antara dunia akademik dan realitas sosial. Akademisi yang seharusnya menjadi agen perubahan bagi masyarakat, justru terjebak dalam birokrasi akademik yang menjadikan prestasi administratif lebih utama ketimbang kontribusi nyata.
Kebijakan pemerintah yang berorientasi pada peningkatan citra akademik bangsa di mata dunia memang patut diapresiasi. Namun, jika hal itu mengorbankan kebutuhan riil masyarakat, bukankah ada yang keliru?
Dalam konteks sosial, ketimpangan riset ini berakibat langsung pada terabaikannya inovasi lokal yang seharusnya bisa menjadi solusi atas berbagai persoalan rakyat. Contohnya, isu pencemaran sungai di Jawa Tengah yang menyebabkan gagal panen berkepanjangan, atau ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil di Maluku akibat abrasi.
Di sektor kesehatan, potensi bahan herbal lokal yang bisa menjadi obat alternatif bagi masyarakat di pelosok juga sering kali terkubur karena dianggap tidak relevan di kancah ilmiah global. Padahal, akses obat-obatan modern bagi warga di daerah terpencil masih menjadi persoalan serius.
Dampaknya meluas hingga ke aspek ekonomi. Desa-desa yang sebenarnya kaya akan sumber daya lokal tidak dapat memaksimalkan potensinya karena riset yang seharusnya mampu mendorong pengembangan sektor pertanian, perikanan, atau pariwisata, justru minim dilakukan.
Secara politik, ketimpangan ini mempertegas kesenjangan antara pusat dan daerah. Ketika dunia akademik lebih sibuk mengejar pengakuan global, aspirasi masyarakat di daerah menjadi semakin jauh dari perhatian pengambil kebijakan.
Untuk memperbaiki kondisi ini, langkah konkret harus diambil. Pertama, pemerintah perlu meninjau ulang sistem penilaian kinerja akademisi. Publikasi internasional memang penting, tetapi riset yang berdampak langsung pada masyarakat lokal harus mendapat apresiasi setara.
Kedua, jurnal-jurnal nasional perlu diperkuat agar memiliki kredibilitas tinggi. Jurnal ilmiah nasional seharusnya menjadi ruang prestisius bagi peneliti yang berfokus pada isu lokal. Ini membutuhkan investasi dalam peningkatan kualitas editorial, pengelolaan yang profesional, dan mendorong indeksasi internasional seperti Scopus atau Web of Science.
Ketiga, pendanaan penelitian harus diarahkan untuk mengatasi masalah nyata yang dihadapi masyarakat. Kebijakan afirmatif terhadap riset lokal harus diterapkan, terutama bagi daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan dalam arus besar pembangunan nasional.
Keempat, kolaborasi antara akademisi dan pemerintah daerah harus diperkuat. Forum riset daerah dapat dibentuk untuk menjembatani hasil penelitian dengan kebutuhan kebijakan lokal. Dengan begitu, ilmu pengetahuan bisa menjadi kekuatan nyata yang menggerakkan pembangunan daerah.
Akhirnya, masyarakat juga harus didorong untuk lebih menghargai hasil riset lokal. Publikasi ilmiah bukan hanya untuk kalangan akademik, tetapi juga harus bisa dipahami dan dirasakan manfaatnya oleh warga. Media massa dan teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk menyebarluaskan temuan-temuan riset yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Ilmu pengetahuan yang bermakna adalah yang mampu mengakar di tanah sendiri, menyuburkan kehidupan masyarakat, dan memberi jalan keluar atas masalah riil yang mereka hadapi. Jika riset hanya menjadi ajang perburuan status global, sementara derita rakyat di desa tetap dibiarkan, maka akademisi telah gagal menjalankan amanatnya.
Kita membutuhkan keseimbangan baru: ilmu yang membumi dan bermanfaat bagi negeri.
