Hukum yang adil seharusnya menjadi pilar utama dalam sebuah negara demokrasi. Namun, ketika kebijakan ekonomi dikriminalisasi tanpa dasar yang kuat, keadilan berubah menjadi alat politik.
Kasus yang menimpa Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menjadi contoh nyata bagaimana perbedaan interpretasi hukum dapat menyeret seorang pejabat publik ke meja hijau tanpa bukti yang jelas mengenai korupsi.
Lembong didakwa atas dugaan kerugian negara dalam kasus impor gula periode 2015-2016. Namun, dalam eksepsinya, ia menegaskan bahwa seluruh kebijakan yang diambilnya telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dinyatakan clean and clear.
Tuduhan yang dialamatkan kepadanya berdasarkan laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang seharusnya tidak memiliki wewenang untuk menyatakan adanya kerugian negara.
Persoalan mendasar dalam kasus ini adalah perbedaan metodologi audit antara BPK dan BPKP. Audit BPK menyimpulkan tidak ada kerugian negara dalam impor gula, sementara BPKP berpegang pada asumsi bahwa harga pembelian gula lebih mahal dibandingkan harga patokan petani (HPP).
Padahal, HPP hanyalah acuan bagi petani, bukan untuk perdagangan antarperusahaan. Penggunaan data yang keliru ini membuat dakwaan terhadap Lembong tampak lemah dan sarat kepentingan.
Lebih jauh, perkara ini menggambarkan tren yang mengkhawatirkan dalam sistem hukum kita: kriminalisasi kebijakan ekonomi. Jika seorang pejabat yang mengambil keputusan untuk menjaga stabilitas harga pangan bisa dipidana, maka siapa lagi yang berani mengambil kebijakan strategis di masa depan?
Dalam hal ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat bahkan dipertanyakan kewenangannya dalam mengadili perkara ini karena tidak ada indikasi korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
Dampak dari fenomena ini bisa sangat luas. Para pejabat publik bisa menjadi lebih berhati-hati hingga titik di mana mereka enggan mengambil keputusan strategis yang berisiko.
Dalam konteks ekonomi, ini bisa berakibat pada stagnasi kebijakan, lambannya respons terhadap dinamika pasar, dan berkurangnya inovasi dalam tata kelola negara.
Maka, penting bagi sistem hukum kita untuk membedakan dengan tegas antara malaadministration dan tindak pidana korupsi. Jika ada kesalahan administratif, mekanisme yang tepat adalah perbaikan kebijakan dan akuntabilitas birokrasi, bukan kriminalisasi yang tidak berdasar.
Saat ini, dunia tengah menghadapi ketidakpastian ekonomi global. Jika pemerintah ingin menjaga stabilitas, maka hukum harus berfungsi sebagai instrumen keadilan, bukan senjata politik.
Kasus Lembong bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang masa depan kebijakan ekonomi Indonesia.