Reformasi militer di Indonesia telah melalui jalan panjang sejak berakhirnya Orde Baru. Salah satu pencapaian besarnya adalah pemisahan peran militer dari politik dan bisnis, yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Namun, kini aturan tersebut tengah digugat di Mahkamah Konstitusi oleh Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan), Kolonel Sus Prof. Dr. Drs. Mhd. Halkis, MH.
Halkis menilai bahwa larangan prajurit berbisnis dan pembatasan jabatan sipil bagi militer bertentangan dengan hak ekonomi dan karier mereka. Ia mengacu pada model militer di negara seperti Amerika Serikat dan Jerman, di mana prajurit diperbolehkan memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan ketat.
Namun, pertanyaannya adalah: apakah Indonesia memiliki sistem yang cukup kuat untuk mengawasi prajurit yang berbisnis? Ataukah ini justru menjadi celah baru untuk melanggengkan kepentingan tertentu dalam tubuh militer?
Pasal 2 huruf d UU TNI menyatakan bahwa militer Indonesia harus “terlatih, terdidik, diperlengkapi dengan baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.” Rumusan ini lahir dari sejarah panjang keterlibatan militer dalam urusan ekonomi dan politik selama Orde Baru.
Saat itu, banyak perusahaan milik negara dan sektor ekonomi strategis dikendalikan oleh militer aktif maupun purnawirawan. Korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merajalela, dengan banyaknya bisnis yang dikendalikan oleh para jenderal untuk kepentingan kelompok tertentu.
Karena itu, reformasi 1998 melahirkan aturan ketat untuk membatasi peran militer dalam urusan sipil. Larangan berbisnis bagi prajurit bukan sekadar pembatasan, tetapi langkah fundamental untuk mencegah militer menjadi kekuatan ekonomi yang tidak terkontrol.
Jika MK mengabulkan uji materi ini, implikasinya sangat luas. Jika prajurit diperbolehkan memiliki usaha, mekanisme pengawasan harus sangat ketat. Namun, dalam praktiknya, sulit memastikan tidak adanya penyalahgunaan wewenang.
Di negara-negara berkembang, ketika militer terlibat dalam ekonomi, akuntabilitas menjadi kabur, dan praktik korupsi lebih sulit diberantas.
Saat ini, Pasal 47 ayat (2) UU TNI membatasi penempatan prajurit aktif di jabatan sipil hanya di beberapa instansi strategis, seperti Kemenko Polhukam, BIN, Lemhannas, dan BNN. Jika aturan ini direvisi, bukan tidak mungkin ke depan kita akan melihat dominasi perwira aktif di berbagai kementerian dan lembaga sipil.
Profesionalisme militer tidak hanya soal pelatihan dan kompetensi, tetapi juga netralitas. Jika prajurit terlibat dalam bisnis dan jabatan sipil, loyalitas mereka bisa terpecah antara kepentingan pertahanan negara dan kepentingan ekonomi pribadi.
Tapi mungkin ada tujuan lain di balik upaya ini. Jika prajurit mulai berbisnis, lalu memperluas jaringan ke berbagai sektor ekonomi, maka langkah berikutnya yang paling logis adalah terjun ke dunia politik.
Ini bukan skenario yang mengada-ada. Di banyak negara, keterlibatan militer dalam bisnis sering kali menjadi batu loncatan bagi mereka untuk masuk ke politik. Thailand, Myanmar, dan Mesir adalah contoh bagaimana keterlibatan militer dalam ekonomi dan birokrasi berujung pada semakin besarnya dominasi mereka dalam pemerintahan.
Beberapa pensiunan jenderal di Indonesia juga telah membuktikan pola ini. Mereka berbisnis, membangun jaringan ekonomi, lalu mencalonkan diri dalam pemilu. Namun, perbedaannya adalah mereka melakukannya setelah pensiun dari militer.
Jika ada prajurit yang ingin berbisnis, atau bahkan berpolitik, maka jalan yang paling etis adalah keluar dari TNI lebih dulu. Tidak ada yang melarang mantan tentara untuk menjadi pengusaha atau politisi.
Tetapi selama masih mengenakan seragam dan mengemban tugas negara, fokus mereka seharusnya tetap pada pertahanan dan keamanan, bukan mencari keuntungan pribadi.
Dalih yang digunakan dalam gugatan ini adalah ketimpangan ekonomi prajurit. Namun, jika akar masalahnya adalah kesejahteraan prajurit, solusinya seharusnya bukan dengan membuka kembali akses bisnis bagi mereka, melainkan dengan memastikan negara benar-benar memberikan jaminan ekonomi yang layak.
Peningkatan gaji, tunjangan perumahan, serta program pemberdayaan ekonomi bagi purnawirawan dapat menjadi solusi yang lebih aman dibanding memberikan izin berbisnis bagi prajurit aktif.
Jika UU TNI diubah hanya untuk melayani kepentingan segelintir elite militer, maka ini bukan reformasi, melainkan justifikasi kepentingan.
Mahkamah Konstitusi harus melihat uji materi ini dengan perspektif yang lebih luas: apakah ini benar-benar demi kepentingan nasional, atau sekadar jalan mundur menuju dominasi militer dalam kehidupan sipil?
Militer yang profesional adalah militer yang fokus pada pertahanan negara, bukan yang sibuk berbisnis atau menduduki jabatan sipil di mana-mana.
Jika pemerintah serius ingin menyejahterakan prajurit, maka peningkatan anggaran pertahanan dan reformasi kesejahteraan militer harus menjadi prioritas, bukan menghidupkan kembali warisan bisnis militer yang pernah menjadi penyakit di masa lalu.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia tidak boleh kembali ke era di mana militer memiliki pengaruh ekonomi dan politik yang berlebihan.
Karena sejarah sudah membuktikan, ketika itu terjadi, rakyat yang akan menanggung akibatnya.