Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Tasikmalaya kembali menjadi cermin buram wajah demokrasi kita. Di tiga desa terpencil—Ciheuras, Pameutingan, dan Parentas—proses distribusi logistik bukan hanya soal teknis. Ini soal keseriusan negara memastikan bahwa hak pilih tidak kandas di tikungan curam dan jalan licin.
KPU Kabupaten Tasikmalaya menyebutkan bahwa akses ke beberapa TPS hanya bisa ditempuh dengan motor trail atau kendaraan 4×4. Bukan karena kita hidup di abad ke-19. Tapi karena infrastruktur kita masih tertinggal, bahkan di pulau Jawa yang katanya paling maju.
Warga pun paham bahwa pemilu bukan sekadar hari coblos. Tapi mereka juga tahu, dari masa ke masa, suara yang mereka berikan belum pernah betul-betul mengubah hidup mereka.
“Kalau musim hujan mah, jalannya licin pisan. Tapi mun logistik kudu diangkut, urang siap ngabantu,” kata Eman, warga Kampung Buligir. Nada bicaranya optimis, meski nada itu tak bisa menutupi getir ketertinggalan.
Tapi tidak semua punya semangat serupa. Di Cisayong, Rohayati, seorang ibu rumah tangga, menyampaikan nada yang kontras.
“Hayu weh nyoblos, da ti baheula ogé taya parobahan. Urang mah biasa bae,” ujarnya lirih.
Inilah realitas yang sering diabaikan. Di balik jargon partisipasi, ada kejenuhan. Di balik semangat demokrasi, ada keraguan. Bukan karena warga tidak cinta tanah air, tapi karena negara terlalu sering menjanjikan, dan terlalu jarang menepati.
Distribusi logistik pemilu seharusnya bukan perkara improvisasi musiman. Ini adalah indikator dasar kapasitas negara. Bila satu TPS gagal menerima logistik tepat waktu, maka konsekuensinya bukan hanya administratif, tapi politis.
Publik bisa curiga. Sengketa bisa muncul. Dan lebih buruk, legitimasi hasil pemilu bisa terganggu.
KPU memang sudah menyiapkan skenario alternatif. Termasuk antisipasi cuaca ekstrem, perubahan lokasi TPS, hingga pelaporan manual di wilayah blank spot. Tapi sampai kapan solusi darurat terus jadi andalan?
Masalah jaringan, medan ekstrem, dan kendaraan khusus seharusnya bukan lagi berita. Sudah lebih dari dua dekade kita menyelenggarakan pemilu demokratis. Tapi medan yang sama, tantangan yang sama, selalu berulang.
Apakah ini kekurangan dana? Atau kekurangan perhatian?
Jangan lupa, PSU ini digelar karena Pilkada sebelumnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Artinya, daerah ini sudah terluka oleh kesalahan sistem. Maka PSU bukan hanya soal mengulang teknis. Tapi soal mengembalikan kepercayaan.
Jika warga di kota besar bisa mencoblos dengan nyaman, maka warga di bukit terpencil pun berhak atas kenyamanan yang sama.
Seorang tokoh masyarakat di Desa Parentas mengungkapkan hal senada. “Kami ini orang kampung, tapi kami juga manusia. Jangan karena kami jauh, jadi diperlakukan seperti nomor dua,” ujarnya dengan nada pelan, namun tajam.
Ironisnya, elite politik yang haus suara di musim kampanye, nyaris tak bersuara soal PSU. Mereka sibuk menyusun strategi pemenangan nasional, sementara warga desa harus menapak lumpur agar suaranya dihitung.
Kita tidak bisa berharap kepercayaan publik akan tumbuh dari proses yang setengah hati. Ketika satu suara bisa menyelamatkan atau menjatuhkan calon, maka satu TPS pun tak boleh dianggap remeh.
Distribusi logistik adalah tulang punggung demokrasi. Gagal di sini, runtuhlah keadilan pemilu.
Pemerintah pusat dan daerah harus menaruh perhatian serius. Bukan hanya untuk PSU di Tasikmalaya, tapi untuk semua wilayah terpencil. Infrastruktur demokrasi harus setara. Jika tidak, maka suara desa akan terus tenggelam di balik hiruk pikuk kota.
PSU ini adalah panggung ujian, bukan hanya bagi KPU. Tapi juga bagi negara.
Apakah negara masih mau melindungi suara warganya hingga pelosok terakhir?
Ataukah demokrasi hanya slogan yang berhenti di jalan beraspal?