Teknologi berkembang lebih cepat dari cara kita menafsirkan dampaknya. Termasuk dalam dunia jurnalisme. Hari ini, kecerdasan buatan (AI) bukan lagi gagasan futuristik, tapi kenyataan yang menyusup diam-diam ke ruang redaksi.
AI tidak hanya digunakan untuk mentranskrip wawancara atau menyusun headline. Ia kini terlibat dalam menyusun narasi, memindai ribuan dokumen, bahkan memberi saran editorial.
CNN Indonesia menulis, dalam satu eksperimen sederhana, transkrip wawancara yang biasanya memakan waktu seharian, bisa diselesaikan hanya dalam lima menit dengan bantuan AI. Hemat waktu, hemat tenaga.
Tapi di balik kecepatan itu, ada kegelisahan. Apakah efisiensi yang ditawarkan AI akan mengorbankan intuisi jurnalistik? Apakah nalar editorial akan tergantikan oleh algoritma?
Media besar dunia sudah lebih dulu mengadopsi teknologi ini. The Washington Post punya sistem Heliograf. Wall Street Journal memanfaatkan AI untuk analisis data pasar. Di Norwegia, surat kabar lokal iTromsø meluncurkan DJINN, sistem yang membantu liputan investigatif berbasis dokumen publik.
Hasilnya positif. iTromsø bahkan mencatat kenaikan pembaca hingga 33 persen. Tapi keberhasilan itu lahir bukan hanya karena teknologinya. Tapi karena sistem itu dipandu oleh jurnalis, bukan digantikan oleh mesin.
AI adalah alat. Tapi seperti semua alat, ia membawa logikanya sendiri. Dalam hal ini, logika statistik, bukan logika editorial.
Logika yang dibentuk dari pola data, bukan intuisi kemanusiaan. Ketika berita disusun berdasarkan yang “paling mungkin dibaca”, maka nilai keberpihakan dan keberanian mengangkat isu minoritas bisa tersingkir.
Inilah yang menjadi kekhawatiran utama. AI tidak punya empati. Ia tidak tahu mana suara yang terpinggirkan. Ia hanya mengenali pola. Ia bekerja berdasarkan kemungkinan, bukan kebutuhan publik.
Saat media sosial sudah membentuk pola konsumsi yang dangkal dan cepat, AI berisiko memperparahnya. Jika digunakan tanpa nalar kritis, berita hanya akan menjadi konten yang mengikuti tren, bukan pengetahuan yang membentuk opini publik.
Dewan Pers Indonesia menyadari tantangan ini. Pada Januari 2025, mereka menerbitkan Pedoman Penggunaan AI dalam Jurnalistik. Intinya jelas: AI bukan pengganti manusia. Setiap konten yang dibuat dengan bantuan AI harus transparan.
Langkah ini penting. Tapi belum cukup. Kita butuh kesadaran yang lebih dalam: bahwa jurnalisme tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mesin, secerdas apa pun algoritmanya.
AI memang bisa menyusun teks. Tapi ia tidak bisa membaca nuansa. Ia tidak memahami ironi. Ia tidak tahu bahwa satu kutipan bisa mengubah arah narasi.
Inilah mengapa AI hanya bisa memperkuat jurnalisme jika diarahkan dengan benar. Ia bisa membantu jurnalis, tapi tidak menggantikan kerja investigasi yang membutuhkan intuisi, empati, dan keberanian.
Nikita Roy, peneliti AI dan pendiri Newsroom Robots, mengatakan bahwa AI bukan ancaman, tapi transformasi. Seperti peralihan dari cetak ke digital. Dulu ditakuti, kini jadi infrastruktur.
Ia menekankan pentingnya agar jurnalis tetap “relevan.” Jangan terlambat memahami gelombang teknologi. Karena sejarah menunjukkan, media sering kali gagap merespons perubahan besar.
Kegagapan itu harus dicegah sekarang. Melalui pelatihan. Melalui literasi digital. Dan yang paling penting: melalui pembentukan etika baru dalam penggunaan teknologi redaksi.
Etika baru itu harus menjawab tantangan utama: bagaimana memastikan AI tidak memperkuat bias? Bagaimana agar akurasi tetap menjadi fondasi, bukan sekadar kecepatan?
Studi Reuters Institute menunjukkan bahwa AI bisa memperkuat kerja jurnalistik jika digunakan untuk tugas-tugas teknis. Transkrip, ringkasan, pencarian data. Sementara jurnalis fokus pada peliputan yang bersifat investigatif dan analitis.
Tapi realitas di lapangan tidak selalu seideal itu. Media seringkali tergoda untuk menyingkat proses. Menyerahkan penyusunan teks kepada AI tanpa verifikasi. Hasilnya, berita kehilangan konteks. Narasi kehilangan kedalaman.
Ini bukan hanya soal teknologi. Ini soal tanggung jawab. Jika kita menyerahkan semua kepada mesin, maka kita tak ubahnya sekadar operator algoritma. Bukan lagi jurnalis.
Di Indonesia, ancaman lain datang dari ketimpangan. Media besar mungkin punya akses ke AI, tapi media komunitas dan lokal belum tentu. Tanpa akses yang adil, ketimpangan kualitas konten akan makin lebar.
Itu sebabnya, perlu dukungan kebijakan. Pemerintah bisa memfasilitasi pelatihan teknologi untuk jurnalis daerah. Kampus jurnalistik harus memasukkan AI sebagai bagian dari kurikulum. Literasi AI adalah syarat mutlak bagi generasi jurnalis baru.
Tak kalah penting, industri media harus membangun konsorsium berbasis kolaborasi. AI bersifat mahal dan kompleks. Tapi jika dikembangkan bersama, sumber dayanya bisa dibagi. Tak perlu semua redaksi membangun sistemnya sendiri.
Kita butuh pendekatan kolektif. AI jangan hanya jadi alat kompetisi. Ia harus menjadi infrastruktur publik untuk memperkuat ekosistem informasi yang adil.
Masyarakat pun perlu diajak memahami bahwa berita yang dibuat dengan bantuan AI tetap membutuhkan proses editorial manusia. Transparansi dalam proses ini akan menjaga kepercayaan publik.
AI bukan akhir dari jurnalisme. Ia bisa menjadi awal dari babak baru. Tapi hanya jika kita mampu mengarahkan teknologi itu untuk memperkuat, bukan menggantikan, nalar jurnalistik.