Sebuah wacana berani sedang digulirkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 1446 H/2025 M, pemerintah secara resmi membuka opsi penyembelihan dam tamattu’ dilakukan di Indonesia.
Dengan dalih efisiensi, kemanfaatan sosial, dan rekomendasi dari Mudzakarah Perhajian serta komunikasi dengan otoritas Saudi, gagasan ini tampak rasional secara administratif. Namun, benarkah itu sejalan dengan hukum syariat?
Dam atau hadyu adalah bentuk kewajiban bagi jamaah haji yang mengambil manasik tamattu’ atau qiran, yang diwujudkan melalui penyembelihan hewan kurban di Tanah Haram.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 41 Tahun 2011 secara tegas menyatakan bahwa penyembelihan dam di luar Tanah Haram adalah tidak sah.
Argumen ini berpijak pada Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama dari berbagai mazhab. Hukum ini tidak sekadar berbicara pada aspek logika distribusi, tapi menyangkut dimensi ta’abudi—ibadah yang mengikuti perintah secara literal tanpa nalar substitusi.
Namun, MUI juga mengeluarkan Fatwa Nomor 52 Tahun 2014 yang lebih akomodatif terhadap aspek teknis. Dalam fatwa ini, dibolehkan pembayaran dam secara kolektif dengan mekanisme wakalah (perwakilan) dan dimungkinkan pendistribusian daging ke luar Tanah Haram demi kemaslahatan.
Di sinilah letak titik lentur yang kini dijadikan dasar legitimasi perubahan kebijakan. Pemerintah berargumen bahwa penyembelihan dam selama ini masih menyisakan banyak masalah.
Distribusi tidak efisien, pelaksanaan rawan penyelewengan, dan tidak memberi dampak nyata pada fakir miskin Indonesia.
Penelitian IDB bahkan mencatat bahwa 25% pelaksanaan dam oleh jamaah haji berpotensi tidak sah karena tidak sesuai syariat atau standar kebersihan.
Dari sisi pengawasan dan transparansi, Kemenag merasa perlu melakukan reformasi menyeluruh, termasuk kemungkinan memotong dan mengolah daging dam di dalam negeri.
Namun, kritik mendasar muncul dari sudut hukum fikih. Banyak ulama, seperti Imam Nawawi, al-Bahuti, hingga Athiyyah Shaqr, menegaskan bahwa penyembelihan dam di luar Tanah Haram bertentangan dengan maqashid syariah ibadah haji.
Bahkan jika daging bisa dikirim kembali ke Mekkah dalam keadaan segar, tetap ada perbedaan pendapat soal keabsahannya.
Bagi mereka, nilai ibadah tidak sekadar hasil atau distribusi manfaat, tapi pemenuhan syarat sah ibadah itu sendiri.
Dari sisi sosial-politik, langkah pemerintah tampaknya ingin menunjukkan kehadiran negara dalam tata kelola haji yang modern, efisien, dan berdampak sosial.
Penunjukan BAZNAS sebagai mitra dalam pendistribusian daging dam menjadi cara untuk meningkatkan manfaat sosial di dalam negeri.
Ini tentu sejalan dengan semangat Undang-Undang Pengelolaan Zakat dan prinsip perlindungan jemaah.
Namun, ketika manfaat dijadikan dalih untuk merombak ketentuan ibadah yang bersifat ta‘abbudi, perlu kehati-hatian ekstra agar tidak tergelincir pada tafsir kemaslahatan yang sempit dan jangka pendek.
Kita juga harus mewaspadai dampak lanjutan dari kebijakan ini. Jika pemerintah membolehkan penyembelihan dam di luar Tanah Haram hari ini, apakah esok hari akan ada relaksasi serupa terhadap kewajiban manasik lainnya atas nama efisiensi?
Bagaimana jika otoritas negara asal jemaah dari negara lain mulai menuntut fleksibilitas serupa atas praktik-praktik ibadah haji?
Hal ini dapat membuka preseden baru yang sulit dikendalikan.
Dalam konteks ekonomi, memang ada potensi besar. Pengolahan daging dam di Indonesia akan menciptakan rantai nilai yang lebih luas, dari peternakan, logistik, hingga industri pangan olahan.
Negara dapat mengoptimalkan industri halal dalam negeri, mengurangi pemborosan, serta menumbuhkan ekonomi kerakyatan.
Namun, keuntungan ekonomi tidak boleh mengorbankan esensi ibadah.
Ibadah haji bukan transaksi logistik, melainkan perjalanan spiritual yang harus tunduk pada batasan syariat, bukan administrasi negara.
Solusi terbaik yang bisa ditempuh bukan mengubah tempat penyembelihan, tapi menguatkan tata kelola dam di Tanah Haram.
Kerja sama dengan IDB melalui Project Adhahi perlu diperkuat dan diawasi secara ketat.
Pemerintah dapat menugaskan lembaga profesional dan lembaga zakat yang kredibel untuk mengelola dan memastikan pemotongan dam sah secara syar’i, higienis, dan sampai kepada fakir miskin yang berhak.
Digitalisasi sertifikat, pelaporan real-time, hingga pengawasan lintas kementerian bisa menjadi solusi jangka panjang tanpa harus mengubah fondasi fikih yang mapan.
Jika pelaksanaan dam di Tanah Haram sudah dinilai rawan penyimpangan, bukan berarti solusinya adalah memindahkannya ke tanah air.
Itu seperti memindahkan salat Jumat ke hari Kamis karena masjid terlalu ramai. Akar masalahnya adalah manajemen, bukan lokasi ibadahnya.
Pada akhirnya, penyelenggaraan ibadah haji tidak boleh didikte oleh logika manajerial belaka.
Ibadah adalah bentuk kepasrahan total pada ketentuan Ilahi, yang tidak selalu bisa dikompromikan oleh kemudahan teknis atau efisiensi distribusi.
Pemerintah harus bijak menimbang, agar dalam upaya memperbaiki layanan, tidak justru menabrak batas-batas suci syariat.