Pernyataan resmi kepolisian yang menyebut ijazah milik Joko Widodo asli secara fisik belum menyelesaikan polemik yang telah bergulir selama bertahun-tahun. Keaslian dokumen sebagai benda memang bisa diuji laboratorium. Namun publik menuntut lebih dari sekadar validasi fisik.
Pertanyaan sesungguhnya adalah: apakah ijazah itu benar-benar diperoleh melalui proses yang sah, transparan, dan jujur? Legalitas administratif tidak akan cukup tanpa legitimasi moral.
Publik tidak hanya menyoal bentuk kertas atau tinta, tapi bagaimana proses pendidikan itu dijalani, bagaimana dokumen itu diterbitkan, dan apakah semuanya memenuhi prosedur hukum yang berlaku.
Pernyataan keaslian yang baru dirilis dua tahun setelah polemik mencuat pun memunculkan pertanyaan baru. Mengapa klarifikasi baru dilakukan setelah masa jabatan presiden berakhir? Jika tidak ada yang disembunyikan, mengapa harus menunggu?
Penundaan semacam ini justru memperbesar ruang spekulasi. Banyak yang menduga bahwa waktu pengungkapan keaslian dokumen tersebut dipilih secara politis, bukan administratif.
Keterlambatan juga memperlihatkan kelemahan komunikasi publik pemerintah dalam menjawab kecurigaan masyarakat. Ketika ruang klarifikasi dibiarkan kosong terlalu lama, maka yang tumbuh bukan pengertian, melainkan ketidakpercayaan.
Sayangnya, sebagian pihak menggunakan pernyataan kepolisian sebagai alat untuk menutup ruang diskusi. Ini berbahaya. Negara tidak boleh menjadikan lembaga hukum sebagai tameng untuk membungkam kritik.
Dalam negara demokrasi, proses klarifikasi tidak boleh berhenti pada satu institusi. Ia harus berjalan secara independen, transparan, dan terbuka. Bahkan jika perlu, diuji melalui jalur hukum formal—yaitu pengadilan.
Pengadilan menjadi forum yang netral untuk memastikan apakah semua proses administratif dalam penerbitan dokumen telah sesuai hukum. Bukan hanya demi kejelasan kasus ini, tetapi juga demi menjamin integritas institusi negara.
Publik membutuhkan kepastian, bukan hanya dari aspek legalitas, tetapi dari sisi etika dan moral. Keabsahan administratif bisa menyelesaikan berkas, tapi tidak serta-merta menghapus keraguan kolektif yang terlanjur tumbuh di masyarakat.
Kasus ini juga mencerminkan krisis yang lebih besar: krisis kepercayaan terhadap narasi-narasi formal yang disampaikan negara. Dalam banyak kasus lain, publik sering kali mendapati bahwa klaim resmi tidak selalu sejalan dengan fakta lapangan.
Itulah sebabnya, pernyataan sepihak dari institusi negara tak cukup untuk menghapus skeptisisme. Yang dibutuhkan adalah proses verifikasi terbuka, akuntabel, dan diawasi publik secara aktif.
Polemik ijazah ini hanya satu contoh dari bagaimana narasi kebenaran bisa bias jika disampaikan secara sepihak dan terlambat.
Jika negara ingin memulihkan kepercayaan, maka yang dibutuhkan bukan sekadar klarifikasi, melainkan pemulihan etika. Terutama menyangkut tokoh publik yang telah memegang jabatan tertinggi dalam pemerintahan.
Pemimpin bukan hanya dituntut sah secara administratif, tetapi juga harus bersih secara moral. Keadilan, transparansi, dan kejujuran adalah fondasi utama dalam membangun kepercayaan publik.
Penyelesaian masalah ini melalui jalur hukum akan memberikan preseden baik bagi demokrasi kita. Bahwa semua pertanyaan, sekalipun ditujukan kepada mantan presiden, patut dijawab secara sahih dan terbuka.
Ketika negara memilih menutup ruang klarifikasi dengan pengumuman sepihak, maka yang lahir bukan ketenangan, tetapi kecurigaan baru.
Karena di mata publik, yang dibutuhkan bukan hanya dokumen asli. Tapi kebenaran yang utuh—baik secara hukum maupun etika.