Fenomena viral wisata foto estetik di Jawa seperti Jembatan Gantung Rengganis Bandung, “Nepal van Java” Dusun Butuh Magelang, dan Ranu Manduro Mojokerto telah mengubah konsep liburan.
Awalnya sekadar tempat transit, kini menjadi magnet utama bagi content creator, komunitas traveler, bahkan wisatawan biasa yang mendorong tren ini jadi trending topics sepanjang 2025.
Dari Konten Estetik Menuju Destinasi Utama
Jembatan Gantung Rengganis di Bandung menjadi sorotan utama. Dengan latar pegunungan dan lembah hijau, tempat ini mudah dipoles menjadi feed Instagram layaknya lanskap luar negeri.
Data dari media sosial menunjukkan tagar #RengganisBridge mencapai jutaan penayangan sepanjang Juni–Juli. Sejumlah kreator konten mengatakan bahwa engagement foto mereka bisa naik hingga 30% hanya dengan mengambil gambar di kap-lokasi tersebut.
Fenomena serupa terjadi di Dusun Butuh, Magelang. Dijuluki “Nepal van Java”, pemandangan perbukitan berpagar kabut dan kontur undulating mirip wilayah Himalaya menyajikan nuansa eksotis. Liburan ke sini bahkan dianggap “rasa backpacker tapi tetap estetik”. Penginapan glamping bermodel tenda ala pegunungan, serta trail yang dipoles dengan drone-view, membuat lokasi ini jadi favorit komunitas pencinta fotografi alam dan retret spiritual.
Sementara itu, Ranu Manduro di Mojokerto juga dilirik karena kombinasi antara danau tenang, jembatan kayu mengapung, dan latar Gunung Penanggungan. Meski belum sepopuler dua sebelumnya, tagar #RanuManduro tumbuh pesat. Pebisnis lokal pun mulai memaketkan wisata sepeda keliling dan camping semi-premium.
Keindahan Visual, Risiko Sosial-Ekologis
Tren ini bukan tanpa kritik. Pertama, isu overtourism mulai muncul. Jalan menuju lokasi jembatan di Bandung macet saat akhir pekan. Sampah plastik berserakan di pinggir lokasi glamping di Magelang, dan fasilitas sanitasi di tiga titik ini kadang tak mampu menampung lonjakan pengunjung.
Kedua, ada kekhawatiran soal keberlanjutan. Spot foto yang didesain sedari awal graphically appealing cenderung mengesampingkan ekologi lokal. Misalnya, gubuk bambu dibangun di sepanjang tepian danau tanpa analisis dampak ekologis. Banyak pohon dipangkas demi menciptakan “view foto sempurna”.
Dari perspektif ekonomi lokal, tren ini mendatangkan cuan. Kafe pop-up dan warung lokal tumbuh di sekitarnya. Di Magelang, UKM tenun lokal memamerkan batik motif khas daerah sekitar untuk dijual ke pengunjung, memperluas jangkauan pasar mereka. Hal positif ini layak diapresiasi.
Namun, aspek sosial perlu diperhatikan. Masyarakat setempat mendadak menjadi “pelayan wisatawan”. Ada kesenjangan budaya dan sosio-ekonomi antara penduduk asli dan pengunjung dari luar. Harga warung melejit hingga 2–3 kali lipat saat weekend, yang memicu pertanyaan tentang aksesibilitas bagi warga lokal.
Menyelaraskan Estetika dan Keberlanjutan
Maka, apa solusinya? Pertama, pemerintah daerah harus menerapkan kuota harian pengunjung berbayar dengan sistem digital. Ini tak hanya mengendalikan jumlah orang, tapi juga mendatangkan PAD yang dapat digunakan untuk pengembangan infrastruktur dan pelatihan pemandu wisata lokal.
Kedua, perlu ada zonasi ekologis. Area konservasi pohon maupun danau harus dijaga. Pembangunan spot foto dicadangkan hanya pada lahan yang sudah rusak untuk mencegah erosi. Tanpa pengawasan, estetika akan mengalahkan keberlanjutan lingkungan.
Ketiga, wajibkan edukasi pentingnya sikap wisata berkelanjutan. Pengelola—baik swasta maupun pemerintah—harus menyediakan signage, menjalankan kampanye #LeaveNoTrace, dan melibatkan relawan lokal untuk menjaga kebersihan.
Keempat, dorong pemberdayaan ekonomi lokal dengan pengembangan paket wisata inklusif berbasis komunitas. Misalnya, pengunjung dapat membeli oleh-oleh hasil karangan tangan anak-anak sekolah setempat, belajar anyaman bambu, atau mengikuti wisata religi lokal.
Tren “wisata instagramable” tak bisa dihentikan, karena ia sarat dengan peluang. Namun tanpa strategi pengelolaan yang matang, keindahan akan lenyap, berganti kerusakan ekologi dan konflik sosial. Keseimbangan antara estetika, ekonomi lokal, dan ekologi adalah kunci.
Saat estetika dan kelestarian berjalan beriringan, destinasi seperti Rengganis, Butuh, dan Ranu Manduro bisa jadi contoh sukses. Jika tidak, maka warnanya hanya akan tinggal di feed, sedangkan realitasnya penuh sampah dan kemacetan.