Indonesia belum bebas dari bayang-bayang penjajahan. Teriakan merdeka-merdeka itu pekikan saja. Ekonomi kita masih dikuasai modal asing dan sistem pajak yang timpang.
Meskipun kaya sumber daya, semuanya belum cukup untuk menjadikan Indonesia benar-benar merdeka secara fiskal maupun politik. Kenyataan ini terlihat jelas dari struktur kepemilikan di sektor strategis seperti pertambangan dan energi.
Sebagian besar masih membutuhkan pendanaan, teknologi, dan pasar dari pihak luar negeri.
Dari sisi politik, kontrol terhadap sektor tambang masih banyak dikuasai oleh investor asing. Proyek-proyek raksasa seperti smelter nikel memang digadang sebagai kebanggaan nasional.
Namun kenyataannya, sebagian besar pendanaannya berasal dari modal asing. Lengkap dengan syarat dan kendali teknologi yang mengikat.
Meski pemerintah menerapkan kebijakan hilirisasi, terutama pada komoditas nikel, sebagian teknologi penting seperti hidrometalurgi untuk bahan baku baterai masih didominasi perusahaan luar negeri.
Kondisi ini menempatkan posisi tawar Indonesia di meja negosiasi internasional tetap terbatas.
Secara ekonomi, kontribusi sektor pertambangan dan penggalian berkisar pada angka sepuluh persen PDB. Angka ini memang penting, namun tidak mampu menjadi penopang tunggal perekonomian nasional.
Penerimaan negara pada 2024 menunjukkan bahwa pajak menyumbang sekitar 75 persen dari total pendapatan. Sedangkan PNBP berbasis sumber daya alam hanya sekitar 25 persen.
Menghapus pajak demi mengandalkan kekayaan alam semata akan meruntuhkan basis fiskal negara. Apalagi harga komoditas global sangat fluktuatif.
Pendapatan SDA tidak pernah stabil dan rentan terhadap gejolak pasar internasional.
Dari perspektif sosial, eksploitasi sumber daya alam sering kali menumpuk biaya eksternalitas yang justru ditanggung oleh masyarakat sekitar. Di berbagai daerah tambang, warga menghadapi masalah kesehatan akibat pencemaran udara dan air.
Konflik berkepanjangan soal lahan juga muncul, bersamaan dengan hilangnya mata pencaharian tradisional.
Sementara itu, keuntungan besar dari hasil tambang mengalir ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri.
Kesenjangan semakin lebar antara masyarakat lokal dan elite bisnis. Ketidakadilan ini menciptakan rasa keterasingan di tengah masyarakat terhadap pembangunan yang katanya demi kesejahteraan bersama.
Di bidang teknologi, kemajuan hilirisasi memang patut dicatat. Fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral, termasuk pabrik baterai berkapasitas besar, mulai berdiri di tanah air.
Namun, jika ditelusuri lebih jauh, teknologi inti dalam proses pengolahan tersebut masih milik pihak asing. Indonesia belum memiliki kemandirian riset dan produksi pada komponen vital seperti bahan aktif baterai atau teknologi daur ulang mineral.
Akibatnya, hilirisasi berjalan tanpa kedaulatan teknologi. Nilai tambah strategis tetap bisa terkunci di luar negeri.
Lingkungan hidup menjadi korban terbesar dari model pembangunan berbasis eksploitasi sumber daya. Penebangan hutan untuk membuka lahan tambang, kerusakan pesisir akibat sedimentasi, dan degradasi terumbu karang adalah pemandangan yang berulang di banyak daerah.
Kebijakan lingkungan yang ada sering kali tunduk pada tekanan investasi. Ketika pulau-pulau kecil dan kawasan konservasi terancam oleh aktivitas tambang, klaim bahwa kita sudah merdeka secara utuh menjadi ironi yang menyakitkan.
Secara hukum, regulasi seperti Undang-Undang Minerba sebenarnya memuat prinsip penting. Mulai dari kewajiban hilirisasi, reklamasi pascatambang, hingga larangan ekspor bahan mentah.
Namun implementasinya sering lemah. Banyak pelanggaran izin yang tidak diikuti dengan sanksi tegas.
Pengawasan tata kelola kerap tidak transparan. Praktik korupsi masih membayangi proses perizinan.
Tanpa penegakan hukum yang konsisten, aturan hanya menjadi simbol yang tak punya daya paksa.
Semua potret ini menunjukkan bahwa model pembangunan kita masih sarat ciri kolonial dalam wajah baru. Kekayaan alam diolah untuk kepentingan segelintir pihak, sementara beban pajak terus dipikul rakyat banyak. Kedaulatan seolah menjadi slogan, bukan kenyataan. Dan di tengah arus globalisasi, praktik semacam ini justru memperdalam ketergantungan kita terhadap pihak luar.
Jika ingin keluar dari pola negara “penjajah” versi modern ini, Indonesia harus membangun kemandirian fiskal yang seimbang antara pajak dan pengelolaan sumber daya alam. Pajak tidak harus dihapus, tetapi dapat dirancang lebih progresif sehingga beban rakyat kecil berkurang.
Sementara itu, sektor penghasil rente SDA harus menyumbang lebih besar. Sebagian penerimaan SDA harus dialokasikan ke dana abadi nasional untuk membiayai pembangunan jangka panjang, seperti yang dilakukan Norwegia dengan dana abadi migasnya.
Selain itu, transfer teknologi wajib menjadi syarat utama bagi setiap investasi asing di sektor strategis. Negara harus berani menetapkan target peningkatan kandungan lokal pada komponen vital industri hilirisasi.
Tujuannya agar Indonesia tidak selamanya menjadi pemasok bahan setengah jadi. Penegakan hukum di sektor tambang dan lingkungan harus diperkuat.
Sanksi berat harus dijatuhkan kepada pelanggar yang merusak ekosistem dan mengabaikan tanggung jawab sosial.
Indonesia memiliki semua bahan untuk menjadi negara makmur dan berdaulat. Tetapi bahan itu tidak akan berarti tanpa penguasaan penuh terhadap pengelolaan, teknologi, dan kebijakan.
Kemerdekaan sejati hanya bisa terwujud jika kekayaan alam menjadi alat untuk membebaskan rakyat dari beban pajak yang tidak adil.
Bukan menjadi sarana memperkaya segelintir pihak dan memperkuat cengkeraman modal asing.
