Kata pembuka sering kali terasa sepele. Namun, belakangan ini, ruang kerja, grup keluarga, hingga obrolan santai dipenuhi frasa yang sama. “Mohon izin…”, “izin bertanya…”, atau cukup satu kata pendek, “siap”. Kalimat-kalimat ini meluncur refleks, seolah menjadi tiket wajib sebelum menyampaikan maksud. Padahal, sering kali tidak ada izin yang benar-benar dibutuhkan.
Fenomena ini menarik sekaligus menggelitik. Ungkapan tersebut kerap tidak berkaitan logis dengan kalimat berikutnya. “Mohon izin, saya sudah kirim email.” “Mohon izin, saya setuju.” Bahkan, “mohon izin, saya sudah duduk.” Bahasa seperti bergerak otomatis, mendahului kesadaran penuturnya.
Dari Kebiasaan Sopan ke Verbal Tic
Awalnya, frasa-frasa ini terdengar sopan dan penuh hormat. Namun, ketika diulang tanpa konteks, ia berubah menjadi verbal tic. Sebuah kebiasaan linguistik refleks yang mengakar kuat. Ia tumbuh subur di lingkungan birokrasi dan korporasi, lalu menyebar ke ruang publik. Warung kopi, transportasi umum, hingga grup keluarga ikut terpapar.
Tanpa mengucapkan “mohon izin”, pembicaraan seolah kurang pantas. Tanpa menjawab “siap”, komitmen terasa kurang total. Bahasa tidak lagi sekadar alat komunikasi, tetapi penanda kepatuhan.
Akar Militer dalam Ruang Sipil
Dalam tradisi militer, bahasa komando memiliki fungsi jelas. Respons harus cepat, tegas, dan hierarkis. Frasa seperti “siap” atau “siap laksanakan” efektif dalam situasi operasi. Masalah muncul ketika bahasa ini bermigrasi ke ruang sipil.
Birokrasi menjadi lahan awal. Struktur vertikal membuat bahasa komando terasa alami. Dunia korporasi kemudian menirunya, sering kali demi citra disiplin dan efisiensi. Lambat laun, bahasa militer berubah menjadi gaya komunikasi sehari-hari.
Akibatnya, nilai egaliter dalam ruang sipil mulai tergerus. Rapat ide yang seharusnya bebas berubah kaku. Setiap pendapat terasa perlu izin. Setiap tugas ditutup dengan kata “siap”.
Feodalisme dalam Kata-Kata
Inilah yang kerap disebut sebagai feodalisme linguistik. Bukan feodalisme klasik, melainkan versi modern yang halus. Ia hadir melalui ritual bahasa yang menegaskan siapa “atas” dan siapa “bawah”.
Contoh sederhana sering terlihat di daftar hadir rapat. Nomor awal dibiarkan kosong untuk atasan, meski staf datang lebih dulu. Logika digeser oleh rasa sungkan. Jika urusan tanda tangan saja tidak setara, bagaimana dengan percakapan?
Dalam dunia profesional, ketimpangan ini terasa nyata. Dialog berubah menjadi laporan satu arah. Kata “mohon izin” menjadi dinding tipis yang memisahkan posisi. Kolaborasi terhambat oleh imajinasi hierarki.
Bahasa sebagai Permainan Kekuasaan
Filsuf Ludwig Wittgenstein pernah menyebut bahasa sebagai permainan. Setiap permainan memiliki aturan. Dalam banyak ruang kerja, permainan yang dimainkan adalah permainan hierarki. Satu pihak memberi instruksi. Pihak lain merespons dengan kepatuhan.
Ketika permainan ini terus diulang, pola pikir ikut terbentuk. Bahasa tidak hanya mencerminkan realitas sosial. Ia juga membangunnya. Dunia yang dipenuhi frasa tunduk akan melahirkan budaya tunduk.
Menuju Bahasa yang Lebih Setara
Apakah solusi berarti menghapus “mohon izin” dan “siap”? Tentu tidak. Bahasa selalu kontekstual. Dalam situasi tertentu, ungkapan itu tetap relevan. Masalahnya bukan pada katanya, melainkan pada kesadaran penggunaannya.
Ada banyak alternatif yang tetap sopan namun lebih egaliter. “Saya ingin menyampaikan…”, “Saya setuju dengan usulan ini”, atau “Baik, akan saya tindak lanjuti.” Kalimat-kalimat ini menjaga hormat tanpa menurunkan posisi penutur.
Demokrasi hidup dari keberanian berbicara. Ia tumbuh dari dialog setara, bukan dari izin yang berlebihan. Setiap kata yang kita pilih membentuk relasi. Ketika kita memilih bahasa yang setara, kita sedang membangun budaya yang lebih sehat.
Pada akhirnya, ini bukan soal gaya bicara. Ini soal cara berpikir. Bahasa yang membebaskan akan melahirkan ruang dialog yang hidup. Dan perubahan besar sering kali dimulai dari hal kecil. Termasuk dari cara kita membuka kalimat, tanpa harus selalu mohon izin.
