Di balik sorotan publik terhadap pembebasan Thomas Lembong atau yang akrab disebut “Om TL”, tersembunyi kegelisahan yang tidak bisa diabaikan. Meski beberapa pihak menyambut baik keputusan pengampunan atau abolisi terhadapnya, tidak sedikit yang mempertanyakan motif di balik keputusan tersebut.
Apakah abolisi ini benar-benar bentuk keadilan, atau justru bagian dari skenario besar untuk melindungi aktor-aktor kuat di balik layar?
Abolisi, secara hukum, adalah kewenangan presiden untuk menghentikan proses hukum seseorang atas dasar kepentingan umum. Namun, penggunaan wewenang ini tidak pernah netral dari kepentingan politik. Dalam kasus Thomas Lembong, yang sempat dijadikan tersangka dalam dugaan kasus impor beras yang kontroversial, abolisi justru memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban.
Muncul dugaan bahwa pembebasan ini adalah strategi untuk mencegah terungkapnya jaringan kekuasaan di balik kebijakan impor. Seperti yang disinggung oleh netizen dalam unggahan media sosial, apabila proses hukum terus berjalan, maka pihak-pihak yang memberikan perintah import, termasuk mereka yang berada dalam lingkar kekuasaan tertinggi, mungkin harus dihadirkan di persidangan.
Siapa yang menginstruksikan? Ke mana aliran dana mengalir? Siapa pemilik rekening yang menjadi penampung dana import? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin mendesak, namun sayangnya tenggelam dalam euforia pembebasan.
Secara politik, abolisi bisa dibaca sebagai mekanisme untuk meredam ledakan skandal. Jika proses banding diteruskan dan fakta-fakta baru muncul, maka bukan tidak mungkin mantan Presiden Joko Widodo akan terseret dalam pusaran hukum.
Apalagi jika terbukti bahwa keputusan import yang sarat kepentingan itu berasal langsung dari arahan presiden. Maka abolisi pun berubah makna: bukan pengampunan untuk keadilan, melainkan perlindungan sistematis terhadap penguasa yang seharusnya bertanggung jawab.
Dari sisi hukum, keputusan abolisi ini memang sah. Namun, sah secara hukum tidak selalu berarti adil secara moral dan sosial. Hukum sering kali bekerja dalam ruang yang sempit, tunduk pada kekuasaan, dan abai terhadap keadilan substantif. Publik pun menjadi korban atas permainan hukum semacam ini. Mereka hanya bisa menyaksikan bagaimana aktor besar bebas melenggang, sementara rakyat kecil yang mencuri demi makan tetap dihukum tanpa ampun.
Fenomena ini mencerminkan krisis kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. Jika seseorang yang memiliki posisi, relasi, dan kekuasaan bisa dengan mudah dibebaskan lewat abolisi, bagaimana dengan para terdakwa lain yang tidak punya akses pada lingkar elit? Bagaimana dengan mereka yang divonis berdasarkan bukti lemah atau rekayasa, namun tidak pernah mendapatkan pembelaan publik apalagi abolisi dari presiden?
Di sisi sosial dan budaya, ini juga menunjukkan bagaimana narasi keadilan telah dikaburkan oleh narasi kekuasaan. Rakyat perlahan kehilangan kepercayaan bahwa keadilan bisa ditegakkan melalui jalur resmi. Mereka mulai membangun narasi sendiri di media sosial, di warung kopi, dan di ruang-ruang diskusi, tentang siapa sebenarnya yang bersalah dan siapa yang dilindungi.
Situasi ini berbahaya, karena ketika hukum kehilangan wibawa, maka masyarakat akan mencari “keadilan” mereka sendiri—dengan cara yang mungkin tidak konstitusional.
Secara ekonomi, kebijakan import beras yang menjadi latar belakang kasus ini juga tidak bisa dilepaskan dari dampaknya ke masyarakat. Import yang terlalu besar dan tiba-tiba, seperti yang terjadi pada masa lalu, sering kali menghancurkan harga gabah petani lokal. Ketika kebijakan diambil tanpa mendengar suara petani, maka negara sedang berpihak pada kartel, bukan rakyat. Jika kasus ini terus dibungkam dengan abolisi, maka kebijakan destruktif serupa akan terus berulang tanpa pembelajaran.
Kita tidak boleh menutup mata bahwa penggunaan abolisi dalam konteks ini berpotensi menjadi preseden buruk. Ketika penguasa bisa menghapus proses hukum dengan satu tanda tangan, maka negara hukum telah beralih fungsi menjadi negara kekuasaan. Apalagi jika abolisi tersebut diberikan tidak karena alasan kemanusiaan, melainkan karena alasan politis dan perlindungan terhadap jaringan oligarki.
Solusinya tidak cukup hanya dengan kritik publik. Kita butuh reformasi mendalam dalam mekanisme pemberian abolisi dan grasi. Harus ada standar objektif yang jelas, transparan, dan bisa diuji secara publik. Keputusan abolisi harus diumumkan beserta dasar pertimbangannya, tidak cukup hanya “kepentingan umum” sebagai frasa kosong. Selain itu, Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi perlu mengevaluasi kembali ruang lingkup kekuasaan presiden dalam intervensi hukum semacam ini.
Selain itu, masyarakat sipil dan media juga harus memainkan peran penting. Jangan hanya berhenti pada viralnya satu kasus, tetapi terus kawal proses hukum dan dorong akuntabilitas dari semua aktor yang terlibat. Jangan biarkan abolisi dijadikan tameng untuk menyembunyikan kebenaran. Rakyat berhak tahu siapa yang sebenarnya membuat keputusan yang merugikan jutaan petani dan siapa yang mendapat keuntungan dari itu semua.
Ketika hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, maka keberanian rakyat untuk bersuara adalah satu-satunya penyeimbang. Karena keadilan sejati tidak datang dari kertas hukum, tapi dari nurani publik yang terus menuntut kebenaran, meski sistem terus mencoba menutupinya.