Kegagalan tim nasional Indonesia lolos ke semifinal Piala ASEAN 2024 telah membuka babak baru dalam perdebatan publik tentang masa depan pelatih Shin Tae-yong (STY). Pelatih asal Korea Selatan yang mulai memimpin timnas sejak 2019 ini kini menghadapi tagar #STYOut yang menggema di media sosial. PSSI, melalui ketuanya Erick Thohir, menjanjikan evaluasi menyeluruh, sementara pengamat menilai laga melawan Australia dalam kualifikasi Piala Dunia 2026 akan menjadi ujian terakhir bagi STY.
Namun, di balik tagar dan kritik yang berseliweran, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab: Apakah kita menilai kinerja STY secara adil? Di satu sisi, ia membawa angin segar dengan pendekatan profesional dan fokus pada regenerasi. Di sisi lain, kegagalan memenuhi target seperti di Piala ASEAN 2024 menjadi noda besar dalam perjalanan kariernya bersama Indonesia.
Salah satu kritik utama adalah kebijakan naturalisasi pemain diaspora. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah dan PSSI telah memanfaatkan aturan FIFA untuk menaturalisasi 17 pemain. Sebagian besar berasal dari Belanda dengan latar belakang keluarga Indonesia. Namun, program ini mendapat sorotan tajam karena dianggap tidak berdampak signifikan pada peningkatan kualitas permainan timnas. Dalam laga melawan Bahrain pada Oktober 2024, 10 dari 11 pemain yang diturunkan merupakan hasil naturalisasi, tetapi hasilnya tetap mengecewakan.
Masalah lainnya adalah kebiasaan STY yang sering mengubah susunan pemain di setiap pertandingan. Hal ini membuat tim sulit membangun chemistry, apalagi ketika mayoritas pemain belum memiliki pengalaman internasional yang cukup. Pengamat sepak bola Kesit B. Handoyo bahkan menyebut pola ini sebagai “kebiasaan buruk” yang justru menambah tekanan pada tim.
Namun, tidak adil jika hanya melihat sisi buruknya. Di bawah asuhan STY, timnas mencatat beberapa pencapaian penting, seperti meraih medali emas SEA Games 2023 dan kemenangan atas Arab Saudi di kualifikasi Piala Dunia. Regenerasi pemain muda yang diprioritaskan STY juga patut diapresiasi, terutama karena mayoritas pemain Piala ASEAN 2024 berusia di bawah 22 tahun.
Masalah mendasar dari kegagalan ini bukan hanya pada sosok STY, tetapi pada struktur sepak bola Indonesia secara keseluruhan. Pendekatan instan yang terus diulang tanpa pembenahan akar masalah telah menjadi pola. Kompetisi lokal yang tidak konsisten, minimnya investasi dalam pembinaan usia muda, dan kurangnya fasilitas yang memadai membuat sepak bola Indonesia sulit bersaing di level internasional.
Jika PSSI benar-benar serius mengevaluasi, fokus tidak hanya harus tertuju pada STY, tetapi juga pada sistem yang mendukung timnas. Reformasi liga, peningkatan pelatihan pelatih lokal, dan investasi dalam infrastruktur sepak bola adalah langkah mendasar yang tidak bisa ditunda lagi.
Di sisi lain, kebijakan naturalisasi harus dievaluasi ulang. Jika terus dilakukan, proses seleksi harus lebih ketat dengan mempertimbangkan kebutuhan strategis timnas, bukan hanya popularitas atau status diaspora. Selain itu, pembinaan pemain lokal harus tetap menjadi prioritas utama.
Bagi Shin Tae-yong, tantangan terbesarnya bukan sekadar membuktikan kemampuan di laga melawan Australia, tetapi juga menunjukkan bahwa ia mampu membawa timnas keluar dari pola kegagalan yang berulang. Jika ia berhasil, bukan hanya kontraknya yang akan diperpanjang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap visi jangka panjang sepak bola Indonesia. Namun, jika ia gagal, maka wajar jika PSSI mempertimbangkan sosok pelatih baru dengan reputasi dan strategi yang lebih baik.
Di akhir cerita, sepak bola Indonesia membutuhkan arah yang jelas. Ini bukan tentang memilih antara STY atau pelatih baru, melainkan tentang membangun sistem yang dapat menopang prestasi jangka panjang. Karena di balik setiap kemenangan atau kekalahan, ada jutaan harapan yang menggantung pada bendera merah putih di lapangan hijau.