Isu mafia sepak bola kembali menjadi topik hangat setelah pemecatan Shin Tae-yong (STY) sebagai pelatih Timnas Indonesia di tengah progres positif tim. Sebelum STY, nama-nama besar seperti Alfred Riedl dan Luis Milla juga mengalami hal serupa. Keputusan yang diambil PSSI ini tidak hanya mengejutkan publik, tetapi juga memunculkan kecurigaan akan adanya kepentingan tersembunyi di balik layar.
Pernyataan seperti “kalau timnas bagus, mafia nggak dapat masukan” yang muncul di media sosial menggambarkan frustrasi masyarakat terhadap pengelolaan sepak bola Indonesia. Apakah keputusan tersebut benar-benar untuk kemajuan tim nasional, atau justru ada agenda lain? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menjadi penting untuk diangkat, mengingat sepak bola adalah olahraga yang paling dicintai di negeri ini.
Keputusan pemecatan Shin Tae-yong oleh PSSI diklaim sebagai bagian dari evaluasi untuk memastikan target jangka panjang, termasuk menuju Piala Dunia 2034. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, dalam berbagai pernyataan menegaskan bahwa tidak ada intervensi dari pihak mana pun, termasuk mafia bola. Namun, bantahan ini belum mampu meredam kekecewaan publik. Sebagian besar pendukung menilai bahwa pergantian pelatih justru merusak stabilitas dan kontinuitas yang telah dibangun.
Menurut laporan Reuters, Shin Tae-yong berhasil membawa perubahan signifikan dalam strategi permainan Timnas. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencapai final Piala AFF 2022 dan mulai menunjukkan peningkatan performa melawan tim-tim besar Asia. Namun, keputusan PSSI untuk memecat STY seakan mengabaikan fakta tersebut, memprioritaskan hasil instan daripada membangun pondasi jangka panjang.
Tidak hanya itu, fenomena ini juga menunjukkan pola yang berulang. Ketika pelatih mulai membangun sistem yang baik, pergantian terjadi tanpa alasan yang jelas. Alfred Riedl, misalnya, dipecat setelah membawa Timnas ke final Piala AFF 2010. Luis Milla juga mengalami hal serupa pada 2018 meskipun banyak pihak menilai gaya bermain tim yang diasuhnya sudah menunjukkan arah positif. Apakah ini kebetulan, atau memang ada pola keputusan yang tidak sepenuhnya transparan?
Secara struktural, tantangan utama sepak bola Indonesia adalah intervensi non-teknis yang sering kali mengganggu proses pengambilan keputusan. Pada tahun 2023, Indonesia masuk dalam sorotan global setelah kasus pengaturan skor terungkap di liga domestik. Beberapa oknum terbukti terlibat dalam memanipulasi hasil pertandingan demi keuntungan pribadi. Kasus ini memunculkan istilah “mafia bola” yang hingga kini masih menjadi bayang-bayang kelam di sepak bola nasional.
Dampak dari keputusan-keputusan tidak transparan ini tidak hanya terlihat di level pelatih, tetapi juga pada ekosistem sepak bola secara keseluruhan. Kepercayaan masyarakat terhadap PSSI semakin tergerus. Menurut survei dari Indonesian Football Survey Institute tahun 2024, 68 persen responden menyatakan kurang percaya pada integritas federasi sepak bola Indonesia.
Dari sisi ekonomi, ketidakstabilan di tubuh PSSI juga memengaruhi daya tarik sponsor. Beberapa perusahaan besar yang sebelumnya mendukung Liga 1 mulai menarik diri karena citra negatif sepak bola nasional. Akibatnya, klub-klub kecil yang bergantung pada pendanaan sponsor semakin terpuruk. Jika situasi ini dibiarkan, bukan tidak mungkin kompetisi lokal akan kehilangan daya saingnya.
Untuk mengatasi masalah ini, reformasi struktural adalah keharusan. Pertama, PSSI harus lebih transparan dalam pengambilan keputusan, terutama yang berdampak langsung pada tim nasional. Publikasi hasil evaluasi pelatih, misalnya, dapat menjadi langkah awal untuk menunjukkan bahwa keputusan diambil secara objektif dan berdasarkan data.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat pengawasan terhadap praktik mafia bola. Pembentukan Satgas Anti-Mafia Bola yang sempat aktif pada 2019 perlu dihidupkan kembali dengan mandat yang lebih luas. Selain itu, kerja sama antara PSSI, pihak kepolisian, dan lembaga internasional seperti FIFA harus diperkuat untuk memastikan integritas sepak bola Indonesia.
Ketiga, penting bagi PSSI untuk mengedepankan pendekatan jangka panjang. Fokus pada pengembangan pemain muda, pembenahan fasilitas, dan pelatihan pelatih lokal harus menjadi prioritas utama. Pergantian pelatih yang terlalu sering justru menghambat proses pembentukan budaya sepak bola yang kuat.
Sebagai media, kami percaya bahwa olahraga adalah cerminan nilai-nilai luhur seperti kerja keras, keadilan, dan solidaritas. Namun, jika pengelolaannya tidak mencerminkan nilai-nilai tersebut, maka sepak bola hanya akan menjadi alat bagi segelintir pihak untuk meraih keuntungan pribadi.
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan sepak bola di Asia, tetapi perjalanan menuju ke sana membutuhkan komitmen bersama. Bukan hanya dari para pemain dan pelatih, tetapi juga dari pengelola yang jujur dan bertanggung jawab. Sepak bola bukan hanya soal kemenangan di lapangan, tetapi juga kemenangan dalam membangun kepercayaan dan integritas.