Jakarta – Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 memicu gelombang protes dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dinilai akan memberatkan masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah, di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya.
Penolakan pertama disampaikan oleh komika Bintang Emon melalui akun Instagram pribadinya. Ia menyoroti komunikasi pemerintah yang dinilai tidak transparan. Menurutnya, banyak masyarakat yang salah paham karena informasi kenaikan PPN tidak dijelaskan dengan jelas.
“Kalau pemerintahnya gentle, kasih rilis resmi soal batasan PPN. Ternyata? Tidak, masih simpang siur,” ujar Bintang pada Senin (23/12/2024).
Bintang Emon menambahkan, pemerintah seolah bertentangan dengan kampanye anti-hoaks karena menyampaikan informasi yang tidak lengkap dan membingungkan.
Hal senada diungkapkan oleh Yenny Wahid, putri Presiden ke-4 Gus Dur, dalam acara Haul ke-15 Gus Dur pada Sabtu (21/12/2024). Ia menegaskan bahwa kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat.
“Rakyat hidup dalam kesulitan. Harga kebutuhan pokok melonjak, daya beli menurun, dan kelas menengah turun kelas sebanyak sembilan juta orang. Kebijakan seperti ini bukannya membantu, malah memperburuk situasi,” ungkap Yenny.
Yenny juga menyoroti bahwa negara-negara lain mengambil langkah berbeda dalam menghadapi tantangan ekonomi.
“Singapura memberikan bantuan tunai kepada rakyatnya, Vietnam menurunkan pajak. Namun, Indonesia justru menaikkan PPN di tengah situasi sulit,” katanya.
Gelombang penolakan juga merebak di media sosial, terutama dari komunitas pecinta K-Pop. Akun @sahisunib di platform X menilai kenaikan PPN akan berdampak pada berbagai biaya, seperti langganan aplikasi streaming hingga tiket pesawat. “As a kpopers, ini saja bakal ngaruh banget. 12% itu gede banget,” tulisnya dengan tagar #TolakPPN12Persen.
Komunitas NCTzen Humanity juga ikut bersuara dengan menggalang dana untuk mendukung aksi demo penolakan PPN 12% di depan Istana Presiden pada Kamis (19/12/2024).
“Ini berdampak pada semua orang, tidak hanya komunitas tertentu. Kami harus bersuara,” tulis mereka.
Menurut para ekonom, kebijakan ini berpotensi memukul daya beli masyarakat dan melemahkan konsumsi domestik, yang selama ini menjadi penopang utama ekonomi Indonesia. Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, sehingga penurunan daya beli dapat berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali dampak kebijakan ini bagi kelompok rentan. Jika tidak, kebijakan ini justru akan memperlambat pemulihan ekonomi nasional,” kata Arief Maulana, seorang ekonom dari Universitas Indonesia.
Gelombang penolakan ini diprediksi akan terus meningkat menjelang penerapan kebijakan PPN 12% pada awal tahun depan. Publik berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan ini demi meringankan beban masyarakat.