Bahaya tersembunyi bisa datang dari lisan sendiri, terutama ketika amarah memuncak dan doa keburukan dilontarkan. Dalam Islam, doa adalah senjata orang beriman, namun jika digunakan tanpa ilmu dan kendali, ia bisa menjadi bumerang. Banyak orang tak sadar bahwa mendoakan celaka orang lain tanpa alasan yang benar bisa justru menimpa dirinya sendiri.
Dalam QS. Fathir ayat 10, Allah menjelaskan bahwa perkataan baik dan amal saleh akan naik kepada-Nya. Ini menegaskan bahwa setiap doa, termasuk doa keburukan, juga naik ke langit. Namun, tidak semua langsung dikabulkan. Dalam timbangan keadilan Allah, hanya yang layak sajalah yang akan dikabulkan.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa mendoakan keburukan atas orang yang tidak berhak menerimanya, maka doa itu akan kembali kepada dirinya.”
(HR. Abu Dawud, no. 4908, dinilai hasan oleh Al-Albani)
Hadis ini menjadi peringatan serius bagi siapa pun yang ringan mengucap laknat atau kutukan. Jika orang yang didoakan ternyata tidak bersalah, maka ucapan buruk itu akan kembali mengenai sang pendoa. Bahkan dalam beberapa atsar disebutkan, doa itu akan “kembali ke ubun-ubunnya.”
Para ulama menegaskan pentingnya adab dalam berdoa, termasuk saat terzalimi. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa melampaui batas dalam doa termasuk bentuk kedzaliman lisan. Lebih baik minta keadilan Allah, bukan mengutuk seenaknya.
Rasulullah juga bersabda:
“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka melaknat, mencela, berkata keji, dan berkata kotor.”
(HR. Tirmidzi, no. 1977)
Bahkan dalam tafsir klasik disebutkan bahwa jika doa buruk itu tidak menemukan sasaran yang pantas, maka ia akan dikembalikan kepada pengucapnya. Maka, berhati-hatilah saat emosi melanda. Jangan jadikan doa sebagai senjata buta.
Terakhir, ingatlah nasihat Nabi:
“Takutlah kalian terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada penghalang antara doa itu dan Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Lebih baik mendoakan kebaikan, karena doa yang baik tidak hanya mendatangkan rahmat bagi orang lain, tapi juga mengangkat derajat diri sendiri.