Kisruh dugaan ijazah palsu Jokowi yang tak kunjung reda menunjukkan kegagalan sistem kita dalam menegakkan standar transparansi. Isu ini telah berulang kali dibantah, namun tetap hidup di tengah publik karena satu hal yang sederhana: tidak pernah ada bukti fisik yang ditunjukkan langsung oleh sang pemilik ijazah.
Masalah ini tak boleh dilihat semata sebagai fitnah politik. Ia menyentuh soal integritas dan akuntabilitas pejabat publik—sebuah fondasi dasar dalam negara demokrasi. Bila seorang kepala negara saja bisa terus dirundung polemik seputar ijazah tanpa penyelesaian transparan, bagaimana kita bisa yakin bahwa pejabat-pejabat lainnya benar-benar lolos dari manipulasi serupa?
Ini bukan tuduhan liar. Ini kritik terhadap sistem yang selama ini gagal menjalankan fungsi dasarnya.
Panitia pemilihan dan lembaga pengawas seperti KPU dan Bawaslu seharusnya memverifikasi keabsahan dokumen calon pejabat publik secara menyeluruh sebelum mereka ditetapkan. Tapi kenyataannya, proses itu lebih sering bersifat administratif: asal ada fotokopi ijazah, selesai.
Tidak ada klarifikasi mendalam ke institusi asal, tidak ada mekanisme publikasi hasil verifikasi, dan tidak ada sanksi jelas bila ditemukan kejanggalan.
Inilah akar masalahnya.
Isu seperti ini seharusnya bisa dihentikan sejak awal jika lembaga pemilu bekerja secara profesional dan transparan. Namun karena KPU dan Bawaslu selama ini hanya menjadi pelaksana teknis, bukan penjaga moralitas pemilu, maka celah-celah seperti ini dibiarkan terbuka.
Sudah saatnya Indonesia mengambil langkah korektif besar:
Lakukan verifikasi ulang seluruh dokumen ijazah pejabat publik yang sedang menjabat.
Mulai dari Presiden, Wakil Presiden, menteri, DPR, DPD, kepala daerah, hingga kepala desa. Termasuk juga para anggota DPRD di seluruh provinsi dan kabupaten.
Namun, jangan diberikan lagi pada KPU atau institusi politik. Verifikasi harus dilakukan oleh lembaga independen yang kredibel, misalnya kombinasi dari Arsip Nasional, Ombudsman, PPATK, LSM audit publik, dan perwakilan akademisi dari kampus-kampus negeri.
Tugas mereka adalah memeriksa keaslian dokumen, mencocokkannya dengan arsip universitas dan sekolah, serta memastikan tidak ada ijazah fiktif yang lolos ke sistem pemerintahan.
Hasil verifikasi wajib diumumkan ke publik secara terbuka melalui media nasional, situs resmi, dan kanal informasi publik lainnya.
Langkah ini bukan hanya untuk membungkam isu lama, tetapi juga untuk mencegah kebohongan baru. Kita tidak tahu berapa banyak pejabat di negeri ini yang mungkin lolos karena lemahnya verifikasi administrasi pemilu.
Dan ingat: publik punya hak untuk tahu.
Mengurus bantuan sosial saja rakyat harus menunjukkan berlembar-lembar dokumen. Sementara pejabat publik, dengan anggaran miliaran dan kekuasaan besar, justru bisa diloloskan hanya karena lampiran ijazah tanpa verifikasi nyata.
Itu ketimpangan yang tidak bisa dibiarkan.
Ada yang mungkin berargumen bahwa ini terlalu berlebihan. Tapi pertanyaannya sederhana: jika memang tidak ada yang salah, kenapa harus takut diverifikasi?
Langkah ini juga akan menyehatkan demokrasi dalam jangka panjang. Ia akan memberikan efek jera bagi calon pejabat yang ingin memalsukan identitas akademiknya. Di saat yang sama, rakyat bisa mendapatkan jaminan bahwa orang-orang yang mereka pilih benar-benar punya rekam jejak pendidikan yang dapat dibuktikan.
Kita juga harus mencermati bahwa lemahnya literasi politik dan keterbukaan informasi telah menciptakan ruang nyaman bagi fitnah maupun kebohongan. Publik akhirnya tidak punya alat untuk membedakan mana yang nyata dan mana yang manipulatif.
Ketika negara tidak menyediakan kejelasan, rakyat akan mencari kebenaran di tempat lain. Itulah sebabnya hoaks bisa tumbuh liar.
Dan dalam situasi seperti itu, tanggung jawab utama bukan pada pembuat hoaks, tapi pada negara yang membiarkan ruang gelap tanpa cahaya informasi.
Verifikasi ulang ini akan memperbaiki kepercayaan publik yang selama ini terkikis. Ini adalah cara konkret untuk menyegarkan kembali semangat keterbukaan dan akuntabilitas yang selama ini hanya dijadikan jargon kampanye.
Kita tidak bisa terus hidup dalam sistem yang membiarkan kebohongan tumbuh diam-diam, lalu baru geger ketika skandal terungkap.
Dengan sistem verifikasi ulang yang terbuka dan terukur, kita bisa menutup pintu itu. Bukan untuk memburu siapa pun, tapi untuk memperkuat demokrasi.
Jika demokrasi ingin sehat, maka pemimpinnya harus lolos dari uji kebenaran. Dimulai dari dokumen sekecil ijazah.